Politisasi Agama Dalam Demokrasi
Oleh: Amallia Fitriani
(Komunitas Ibu Pembelajar Karawang)
LenSaMediaNews–Dalam sistem demokrasi berbagai cara dapat dilakukan demi meraih sebuah kekuasaan, terutama dalam kancah perpolitikan. Akhirnya politisasi agama menjadi pilihan yang menggiurkan. Politisasi agama kian terasa di tahun politik seperti saat ini, dan perlu disadari sejatinya agama dan ulama tengah dijadikan alat legitimasi politik dalam sistem demokrasi. Agama hendaknya diposisikan pada tempat yang mulia dan tidak dijadikan alat legitimasi politik karena akan memunculkan permasalahan.
“Ketika agama dijadikan ideologi yang kuat digunakan untuk politik, sah dan boleh. Tapi, ketika agama dijadikan alat legitimasi politik ini jadi masalah,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin dalam keterangan pers yang diterima, Jumat (5/4/2019).
Bahkan beliau menambahkan, suatu hal yang wajar kalau pola pikir kita yang keliru digunakan pihak tertentu untuk melegitimasi politik. Ketika agama dijadikan simbol, itu akan berbahaya. (Okezone.com, 5/4/2019).
Bagaimanapun juga agama dan politik tidak dapat dipisahkan, sebab politik adalah bagian dari ajaran agama Islam. Namun, fakta menunjukkan bahwa politisi agama dalam ranah demokrasi tidak sungguh-sungguh menggunakan agama sebagai standar dalam penerapan sistem kehidupan. Para politisi hanya cenderung memanfaatkan agama demi kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Hal ini terlihat dari para kandidat politik yang sebelumnya begitu jauh dan bahkan cenderung anti dan memusuhi Islam, tapi tiba-tiba tampak begitu bersahabat dengan umat Islam dan gemar pula menggunakan simbol-simbol Islam. Hal ini dilakukan guna meraup simpati dan suara kaum muslim demi meraih kekuasaan politik semata.
Sementara itu, ulama juga rentan masuk dalam jebakan penguasa dan dijadikan sebagai legitimasi kebijakan. Hal ini harus diwaspadai oleh umat Islam yang menjadi basis massa para ulama itu. Jika umat dan ulama terjebak dalam jebakan penguasa, maka mereka akan menjadi korban. Bukan hanya mereka, tetapi juga negeri ini.
Maka, ulama tidak boleh menjadi stempel kekuasaan yang buruk dan bertentangan dengan Islam. Tidak boleh menjadi alat penguasa untuk memecah-belah umat. Tidak menggadaikan agamanya untuk kepentingan diri sendiri dan penguasa jahat.
Nabi saw menyatakan, Janganlah kalian mendekati pintu penguasa karena ia benar-benar menjadi berat dan menghinakan (H.R ath-Thabarani dan ad-Dailami). Bahkan Imam Jafar ash-Shadiq ra, juga menyatakan, Para fuqaha adalah orang-orang amanah [di mata] Rasul. Jika kalian melihat Fuqaha telah condong kepada para penguasa, maka curigailah mereka.
Karena itu, pada masala lalu para penguasa itulah yang mendatangi para ulama, bukan ulama mendatangi istana mereka. Ini juga yang menunjukkan akhlak dan adab mereka kepada para ulama yang merupakan pewaris Nabi saw, dan orang-orang yang dipercaya Rasul, menjadi penyambung lidah mereka.
Diantara kebiasaan para ulama terdahulu adalah mengevaluasi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Harus disadari bahwa fungsi ulama salah satunya ialah melakukan muhasabah lil hukam. Muhasabah itu adalah kewajiban syariah. Dibangun berdasarkan kaidah dan hukum syariah tentang amar maruf nahi mungkar. Rasulullah Shallallohu Alaihi Wassallam bersabda: Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan (menyampaikan kebenaran) di hadapan penguasa jahat. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmizi).
Karena amar maruf nahi mungkar ini membutuhkan ilmu, maka tugas ini banyak diemban oleh para ulama. Apalagi para ulama hakikatnya orang yang hanya takut kepada Allah. Seorang Ulama dia akan senantiasa takut kepada Allah dalam segala keadaan serta senantiasa berpegang kepada aturan dan melaksanakan syariat islam Allah Subhanahu Wata’alaa berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS Fathir: 28)
Maka mereka selalu menjadi tokoh terdepan dalam melaksanakan amar maruf nahi mungkar, termasuk muhasabah terhadap para penguasa.
Wallahualam bissowwab.
[EL/FA]