Islam dan Politik Tak Terpisahkan

 

Oleh Erwina Mei Astuti

LenSaMediaNews–Indonesia sedang bersiap atas perhelatan akbar. Di negeri muslim terbesar di dunia, pesta demokrasi akan digelar. Islam sebagai agama mayoritas dibawa-bawa sebagai alat politik. Demi meraih kekuasaan semata ataukah untuk dipahami bahwa sistem politik ada di dalamnya?

Beberapa pihak menyayangkan Islam dijadikan alat politik. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin dalam keterangan pers menuturkan, semua pihak hendaknya menempatkan agama pada tempat yang tepat. Agama, lanjutnya, tidak boleh dibenturkan dengan politik. Sementara itu, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Benny Susetyo mengatakan, agama hendaknya tidak dijadikan alat untuk menyerang lawan politik, apalagi menghancurkan karakter (Okezone.com/2019/04/05).

Tak hanya di dalam negeri, tokoh dunia ikut menunjukkan keberatannya atas campur tangan agama dalam ranah politik. Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Mohammed Dajani, Founder and Chairman Wasatia Movement, Jerusalem mengatakan agama seharusnya tak dijadikan kendaraan politik. Senada dengan hal itu Zainab al-Suwaij, Executive Director American Islamic Congress dari Irak mengatakan, negaranya hancur karena menjadikan agama sebagai alat politik (Tempo.co/2018/10/28).

Dari sini nampak ada keberatan membawa agama dalam ranah politik. Seolah keberadaan agama dalam politik akan membuat politik makin kisruh. Karenanya agama diharapkan berada di tempat yang suci, bersih, tak menyentuh aspek dunia, dan cukuplah mengurusi perihal ibadah. Namun tak dipungkiri, demi mendulang suara tak sedikit yang mengunjungi ulama bahkan menggandeng ulama, yang notabene ahli agama.

Agama yang dimaksud adalah Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Maka diharapkan jangan bawa-bawa Islam dalam urusan politik. Bawa yang lain boleh asal jangan bawa Islam. Padahal sejatinya bila telah memeluk Islam maka wajib totalitas mengikuti ajarannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah : 208 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” Justru suatu hal yang aneh bila mengaku muslim tapi tak mengikuti ajarannya secara keseluruhan.

Islam memang mengatur urusan ibadah. Menyembah Sang Pencipta seperti ibadah salat, puasa, zakat, haji, dsb. Tapi Islam juga mengatur urusan di luar ibadah seperti pendidikan, kesehatan, pemerintahan, perekonomian, pergaulan maupun politik. Islam mengenal hablumminallah, hablumminannass, dan hablum bin nafsih. Islam sempurna karena ajarannya utuh dan komplit. Karenanya Islam bukan sekedar agama melainkan juga suatu ideologi.

Dengan demikian musuh-musuh Islam tak menginginkan kebangkitan Islam kembali. Maka perang pemikiran dimulai. Ajaran Islam sedikit demi sedikit dijauhkan dari pemeluknya sendiri. Alhasil sekulerisme sukses masuk dalam benak kaum muslimin. Suatu paham yang menjauhkan agama dari kehidupan, itulah sekulerisme. Maka banyak kaum muslimin alergi terhadap politik Islam. Merasa aneh jika agama berada dalam ranah politik. Latah dan ikut mengamini pendapat yang anti politik Islam.

Dalam Islam, politik bermakna pengaturan urusan umat. Bagaimana urusan umat tertangani dengan baik sehingga kesejahteraan dirasakan semua pihak. Politik dalam Islam bukan untuk berebut kekuasaan seperti dalam realita saat ini. Justru dalam naungan sistem demokrasi, agama dijadikan simbol untuk mendulang suara semata. Bila suara terkumpul dan kekuasaan telah didapat maka agama tak lagi dijadikan standar. Agama dipolitisasi dalam sistem demokrasi. Sebaliknya dalam sistem Islam, agama sebagai tolak ukur dalam beraktivitas. Karenanya politik tak terpisahkan dari Islam.

Waallahua’lam bisshowab.

[Ls/Hw/FA]

Please follow and like us:

Tentang Penulis