Politik Uang, Tradisi Demokrasi Demi Kekuasaan
Oleh: Nurdalena, S.Pd
( Ummu Fathul, Pendidik)
LenSaMediaNews–Pemungutan suara telah berakhir, namun menyisakan banyak cerita. Adanya politik uang salah satunya yang menjadi percakapan di media sosial. Laboratorium Big Data Analytics dan PolGov Research Center DPP Fisipol UGM merilis hasil pemetaan potensi politik uang di pemilu 2019. Percakapan politik uang banyak terjadi di Jawa. Peneliti DPP Fisipol UGM, Wawan Mas’udi mengatakan bahwa kesimpulan itu didapatkan dari analisis terhadap 7.647 percakapan terkait varian politik uang di sosial media pada 2 sampai 22 April 2019 (Republika.co.id, 15/04/2019).
Dalam alam demokrasi terjadinya politik uang bukan rahasia umum. Apalagi sejak reformasi, negeri ini melakukan pemilihan langsung. Pemilihan langsung dalam sistem demokrasi mengharuskan para calon memiliki branding personal yang bisa dijual kepada pemilih. Peneliti Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk dalam kesempatan wawancaranya dengan program AIMAN di Kompas TV beberapa waktu lalu, mengatakan keterpilihan calon ditentukan oleh tiga hal yaitu diketahui, dikenal, dan disukai. Cara tercepat yang bisa dilakukan calon mendapatkan ketiga syarat tersebut adalah dengan tatap muka dalam bentuk apapun dan memberi bantuan. Cara instannya untuk mendapatkan suara tanpa bersusah payah, yaitu dengan politik uang.
Permainan politik uang sebenarnya memang sudah mengakar dalam kontestasi demokrasi. Jika kita menilik sejarah bahwa sejak demokrasi dikenal dan diterapkan dinegeri ini, politik uang sudah biasa terjadi. Sejarah mencatat politik uang selalu menyertai pemilihan kepala desa (Pilkades ) di Jawa sejak sebelum merdeka (Djaja Sapija, 1944). Saat itu, pemilihan kepala desa diadakan terbuka. Menggunakan sepotong lidi yang dimasukan kedalam kotak yang diletakkan di depan calon. Maka masing- masing calon bisa melihat sendiri warga yang memasukan lidi ke dalam kotak. Banyak terjadi pembunuhan terhadap warga pasca pemilihan. Korbannya adalah warga yang dianggap mengkhiatnati calon, karena sudah menerima uang tapi tidak memilih si pemberi uang. Sejak saat itu pemilihan terbuka diubah menjadi pemilihan tertutup.
Dalam demokrasi politik uang menjadi tradisi di masyarakat yang sulit dihilangkan. Paradigma politik uang mengakar dibenak kebanyakan masyarakat. Jika berbagi uang akan dipilih dan jika tidak berbagi uang maka tidak akan dipilih. Demokrasi yang mahal memang membuka peluang segala bentuk kecurangan, tak terkecuali politik uang.
Berbeda jauh dengan Islam. Islam sebagai agama yang sempurna. Tidak hanya mengatur masalah ibadah saja, tapi juga mampu mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk politik. Dalam konteks Islam, secara bahasa politik (as-siyaasah) berasal dari kata saasa-yasuusu-siyaasatan, yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Sedangkan menurut istilah definisi politik sebagaimana yang diungkap oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al-Afkar as-Siyaasiyah, adalah mengatur urusan umat. Dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi pemerintah dalam melakukan tugasnya. Politik tak sekedar perkara memilih dan dipilih saja, tetapi bagaimana seorang diberi amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Oleh karena itu, dalam sistem Islam orang tidak akan berlomba- lomba meraih kekuasaan. Apalagi sampai melakukan politik uang.
Selain itu Islam dengan tegas mengharamkan memberi atau menerima pemberiaan dalam rangka pemilihan umum, karena hal tersebut termasuk risywah (suap). Sebagaimana di ungkapkan dalam hadits dari Abdullah bin ‘Amr ra bahwa “Rasulullah saw telah melaknat setiap orang yang menyuap dan yang menerima suap” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Jadi, masihkah kita bisa berharap pada para pemimpin dan wakil rakyat yang memenangkan suara dengan kecurangan politik uang? Pantaskah para pemimpin dan pejabat yang curang dijadikan contoh bagi generasi mendatang? Mungkinkah mereka akan amanah mengurusi urusan rakyat sedang Tuhan mereka saja mereka abaikan?
Wallahu a’lam bishshawab.
(Aher/FA)