Jurang Kesenjangan Menganga, Rakyat Miskin Makin Merana
Oleh: Chaya Yuliatri, S.S.
(Aktivis Muslimah DIY dan Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Istilah ini ternyata tetap relevan di masa pandemi. Terungkap bahwa selama pandemi, kekayaan para pejabat negara mengalami kenaikan mencapai 70,3 persen (kompas.com, 13/9/2021). Di sisi lain, jumlah pengangguran meningkat drastis, angka kemiskinan semakin melejit.
Kambing Hitam Pandemi
Banyak pihak menyalahkan pandemi sebagai penyebab tingginya angka kemiskinan. Padahal, sebelum pandemi angka kemiskinan memang sudah tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang. Sementara, pada Maret 2021 tercatat sebanyak 27,54 juta penduduk miskin. Ini berarti ada kenaikan sebesar 2,75 juta penduduk miskin selama pandemi. Bukan angka yang fantastis, mengingat kemiskinan merupakan problem lawas yang belum teratasi hingga detik ini. Yang lebih memprihatinkan, sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih banyak dari itu. Jika menggunakan Islam sebagai standar perhitungan, niscaya mayoritas penduduk Indonesia tergolong miskin. Dalam pandangan Islam, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar secara menyeluruh. Kebutuhan dasar tersebut meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Jadi, bukan dilihat dari besaran penghasilan sebagaimana yang ditetapkan dalam sistem kapitalisme.
Sistem yang Memiskinkan
Melihat fakta tersebut, jelas bukan pandemi penyebab tingginya angka kemiskinan, tapi kesalahan sistemis. Sistem kapitalisme yang diemban negeri ini, nyatanya menyebabkan kemiskinan terstruktur. Dalam sistem kapitalisme, pendapatan utama negara ditopang oleh utang dan pajak. Rakyat kecil dijadikan objek wajib pajak terbesar, sementara orang kaya bisa melenggang bahagia. Para pejabat sibuk menghambur-hamburkan uang negara dan memperkaya diri serta keluarga. Tak aneh jika kesejahteraan dalam sistem kapitalisme hanya angan kosong belaka. Biaya kesehatan, pendidikan, dan segala kebutuhan pokok mahal, tidak terjangkau semua kalangan. Ini terjadi karena pemerintah bukan mengurusi rakyat, tapi sibuk berbisnis dengan rakyat. Segala sektor dikomersialisasi demi kepentingan para kapitalis dan elite politik. Wajar jika kursi jabatan dijadikan rebutan, demi memuluskan jalan meraup kekayaan. Alhasil, rakyat hanya mampu menahan pilu seperti diiris sembilu.
Bahagia di Atas Derita
Di sisi lain, para pejabat sibuk menumpuk gunung emas. Pandemi tak jadi penghalang meningkatkan harta kekayaan. Sayangnya, hal ini tak dibarengi dengan kepedulian terhadap nasib rakyat kecil. Meskipun jerit tangis pilu menahan lapar berkumandang dari sudut-sudut negeri, tak tampak keinginan untuk berbagi. Justru mereka sibuk berembuk membuat berbagai kebijakan yang semakin mencekik rakyat. Berbagai kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat menyebabkan banyak usaha kecil gulung tikar. Belum lagi berbagai pungutan pajak tak masuk akal, membuat beban rakyat berlipat-lipat.
Masihkah Berharap Pada Sistem Rusak?
Melihat fakta mengguncang jiwa, harusnya mampu membuka mata kita. Tak ada sedikitpun kebaikan pada sistem rusak buatan manusia. Rakyat teraniaya, hidup bermuram durja. Tidak ada harapan bahagia dalam sistem durjana. Campakkan sistem kufur agar hidup tak semakin tersungkur. Kembali pada sistem Islam, yang mampu menyejahterakan seluruh alam.
Islam Solusi Hakiki
Marilah kita flashback pada masa kegemilangan Islam. Bagaimana kehidupan para pejabat ketika Islam berkuasa, misalnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Siapa yang tak kenal sang Khalifah yang terkenal akan kezuhudan dan kejujurannya? Sebelum menjabat sebagai Khalifah, pendapatan pribadi Umar bin Abdul Aziz berkisar 50.000 dinar per tahun. Begitu terpilih sebagai khalifah, segera ia lelang semua kekayaannya dan diserahkan ke Baitul Mal, hingga pendapatan pribadinya merosot menjadi 200 dinar per tahun. Selain itu, saat diangkat sebagai Khalifah, tak ada sedikitpun rona bahagia, justru air mata yang berderai. Memikirkan nasib fakir miskin, kaum duafa, serta janda-janda yang memiliki banyak anak, yang akan menuntutnya di akhirat kelak jika selama menjabat tak mampu menyejahterakan mereka. Selama menjabat, tak pernah sekalipun Khalifah Umar memanfaatkan fasilitas negara, apalagi demi kepentingan pribadi. Semua fasilitas mewah keluarga istana dicabut, pejabat-pejabat korup dilengserkan. Meskipun masa pemerintahannya hanya tiga tahun, khalifah Umar bin Abdul Aziz begitu terkenang dalam hati umat Islam. Rakyat hidup sejahtera tanpa terkecuali. Pada masa itu, tidak ada seorang warga pun yang bersedia menerima zakat karena hidup mereka sudah berkecukupan. Rakyat begitu merindukan pemimpin yang zuhud dan amanah. Ini hanya akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan khilafah.
Wallahu a’lam bish shawab.
[LM]