Tata Kelola Pendidikan Islam ketika Pandemi
Oleh: Ilmi Mumtahanah
(Pena Muslimah Konawe)
Lensamedianews.com-Selama zaman keemasan Islam, pendidikan terselenggara dengan berkualitas dan gratis. Guru-guru pertama umat Islam tidak mencari materi. Mereka bukan para kapitalis yang lebih baik ganti profesi bila tidak menerima imbalan yang lebih baik untuk aktivitas akademiknya. Mereka mencari nilai spiritual, ingin mendapatkan pahala jariyah dari ilmu bermanfaat yang dikembangkan dan doa orang-orang yang menjadi saleh dengan yang mereka ajarkan.
Tak hanya itu, orang-orang kaya dan pejabat publik berlomba berwakaf untuk sarana fisik pendidikan, laboratorium, sarana produktif seperti kebun atau industri yang dapat membayar biaya operasional sekolah atau kampus. Alhasil, para ulama yang mengajar atau meneliti tidak perlu khawatir lagi dengan nafkahnya. Mereka bahkan masih bisa melawat ke seluruh dunia untuk melakukan survei, mendengarkan hadis atau ilmu baru, dan mengajar ke negeri-negeri yang baru disapa oleh dakwah Islam.
Adapun dalam penanganan pandemi, terkhusus di sektor pendidikan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, melakukan lockdown atau karantina wilayah. Rasulullah saw. seperti dalam hadis yang diriwayatkan Abdurrahman bin Auf, melarang orang mendekati atau meninggalkan suatu wilayah yang sedang dilanda wabah penyakit. “Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya, kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.”
Sejak awal, khalifah akan memisahkan antara orang yang sakit dan orang yang sehat (test and tracing), menentukan di mana pusat wabah dan berupaya keras agar penyakit yang berada di wilayah sumber awal tidak meluas ke wilayah lain. Selain itu, sarana dan prasarana kesehatan juga harus memadai. Pun, keamanan nakes harus jadi prioritas negara. Merekalah yang paling berperan di garda terdepan. Semua itu dilakukan sejalan dengan salah satu tujuan syariah yaitu menjaga jiwa. Rasulullah saw. bersabda, “Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa haq.” (HR. An Nasa’i dan Tirmidzi)
Di samping itu, penting bagi negara untuk memiliki peta yang jelas, mana daerah merah, kuning, dan hijau. Pada daerah yang diisolasi, seluruh aktivitas harus diminimalkan sampai batas serendah-rendahnya. Daerah lain yang tidak terkena wabah tetap dijaga produktivitasnya di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Diharapkan, pendidikan dapat berjalan dengan normal tanpa khawatir ditemukan cluster penularan di sektor ini.
Namun, jika keberadaan pandemi mengharuskan sampai adanya pembatasan di wilayah terinfeksi, sehingga semua aktivitas publik termasuk pendidikan harus dijalankan secara daring, maka khalifah akan memastikan kegiatan belajar-mengajar tersebut tetap efektif dilakukan. Materi pembelajaran dipastikan tidak akan membuat siswa dan guru stres dan menjamin kualitas pendidikan tidak berbeda dengan yang dijalankan secara offline.
Oleh karena itu, Khilafah akan menjamin sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran tersebut seperti pengadaan gadget dan kuota gratis bagi peserta didik maupun pengajar, membangun jaringan internet di seluruh pelosok negeri, mengadakan pelatihan bagi para pengajar untuk mengawal proses belajar daring. Semua pelayanan pendidikan secara daring maupun tidak, akan diperoleh peserta didik secara gratis dan memadai serta tidak membedakan kaya atau miskin, pintar atau biasa, muslim atau nonmuslim.
Kedua, memaksimalkan peran ibu sebagai pendidik utama bagi anaknya. Wilayah yang masuk kategori zona merah tidak memungkinkan untuk melaksanakan belajar luring. Untuk itu, peran ibu sebagai fasilitator sangat dibutuhkan. Perempuan dalam konstelasi Islam harus menyadari bahwa hukum asal dirinya adalah ummu wa rabbatul bayt. Sehingga, menjadi penting bagi ibu untuk memiliki pendidikan dan kesabaran yang mumpuni. Ia harus menyadari dan mengetahui bagaimana cara membimbing anak-anaknya dalam belajar. Bukan sepenuhnya menyerahkan hal ini kepada pihak sekolah. Jika kesadaran ini telah terbentuk, _insyaallah_ tidak akan ada ibu yang stres mengajari anaknya di rumah.
Ketiga, negara menyokong kebutuhan pokok masyarakat selama lockdown. Sehingga, orang tua bisa fokus melakukan fungsi pengajaran pada anaknya. Tidak disibukkan lagi dengan pemenuhan nafkah, dimana dengan keluar rumah untuk bekerja malah berisiko bagi nyawa. Terpenting, proses distribusi bantuan pangan selama pandemi akan dimaksimalkan. Wilayah di zona hijau akan men-supply pangan di wilayah zona merah.
Adapun sumber pendanaan baitulmal dalam Khilafah antara lain zakat, fai’, jizyah, kharaj, usyur, ghanimah, harta warisan orang yang tidak memiliki ahli waris, barang tambang, harta _shuf’ah, waqaf,_ harta yang ditinggal oleh pemiliknya, dan harta orang murtad. Sumber daya alam akan dikelola oleh negara, tidak diserahkan pada asing atau swasta.
Demikianlah sistem pendidikan berkualitas dalam Khilafah di tengah pandemi. Wallahu ‘alam. [LM/Mi]