Konflik Horizontal Makin Menjadi di Tengah Pandemi
Oleh: Ummul Asminingrum, S.Pd.
Lensa Media News – Berbagai macam konflik horizontal semakin banyak mewarnai negeri ini. Baik itu konflik antar anggota masyarakat, maupun antara masyarakat dan tenaga kesehatan (nakes). Selain itu juga terjadi konflik-konflik sosial yang bermuara pada ketidakpercayaan publik pada kebijakan negara (public distrust).
Ambil saja kasus yang terjadi di Situbondo. Warga menghancurkan peti jenazah pasien Covid-19 yang videonya viral di medsos. Dimana ada sekelompok warga yang merusak peti dengan kayu dan kursi setelah jenazahnya diambil. Alasannya keluarga tidak terima pemakaman secara prokes (Kompas.com, 23/07/2021).
Selain itu nasib nahas juga dialami oleh seorang penderita Covid-19 di kabupaten Toba, Sumatera Utara. Bukannya mendapat simpati dan bantuan dari warga, ia malah dianiaya dengan cara diikat dengan tali lalu diseret dan dipukuli ramai-ramai. Alasannya karena ia yang diminta warga tetap isolasi di dalam hutan sendiri, namun tidak betah hingga depresi dan memilih isolasi dalam rumahnya (Kompas.com, 24/07/2021).
Selain konflik antar anggota masyarakat yang berujung pada penganiayaan. Ada juga kisah yang mengundang simpati. Tim pemakaman jenazah Covid-19 BPBD Jember menjadi korban amukan warga saat mengirim jenazah pasien Covid-19 ke kediamannya. Tak hanya dihadang, tim relawan pemakaman juga dilempar batu, dipukul, dan dibanting oleh warga sekitar. (Kompas.com, 23/07/2021).
Berbagai macam konflik horizontal yang terjadi hari ini, bisa jadi karena kurangnya edukasi dari pemerintah. Masyarakat belum sepenuhnya memahami fakta-fakta apa itu virus corona, bagaimana menjaga agar terhindar darinya, tatacara isolasi mandiri, dan lain sebagainya.
Ketika ada warga yang terpapar mereka menjadikan itu aib yang luar biasa. Sehingga berakibat pada pengucilan dan pengeroyokan.
Di sisi lain mereka yang melakukan kekerasan terhadap korban, juga mengabaikan prokes padahal bisa jadi resiko tertular. Begitu juga dengan minimnya pengetahuan warga tentang tatacara pemakaman secara prokes, sehingga melakukan kekerasan kepada para petugas.
Padahal di era teknologi dan informasi yang canggih seperti sekarang ini, pembinaan dan edukasi bisa dengan mudah dilakukan. Sekarang hampir semua tempat mulai dari RT sampai tingkat desa mempunyai grup-grup WA. Bukankah ini bisa dimanfaatkan sebagai sarana penyuluhan kepada warga terkait apa-apa yang berkaitan dengan virus corona. Dengan begitu masyarakat tidak akan mudah menyerap segala informasi yang bertebaran di mana-mana.
Namun sayangnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah perlahan hilang. Konflik sosial yang bermuara pada ketidakpercayaan publik pada kebijakan negara (public distrust) sangat mudah terjadi dalam sistem demokrasi-kapitalisme. Sebab sistem ini telah meniscayakan hubungan yang tidak harmonis antara rakyat dan penguasa.
Penguasa lebih condong melayani kepentingan para kapital ketimbang kebutuhan rakyat. Berganti-ganti kebijakan yang semakin mempersulit kehidupan rakyat kecil, juga jadi pemicu public distrust. Di sisi lain segelintir orang kaya malah mendapatkan perlakuan istimewa.
Di sinilah urgensi mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah melalui sistem yang sahih. Dalam Islam pemimpin adalah pelayan rakyatnya. Dimana mereka akan menjamin segala kebutuhan rakyat dan mempermudah aksesnya. Dimana rakyat tidak akan dibiarkan menyelesaikan sendiri masalahnya.Sebagaimana sabda nabi Muhammad Saw.,
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Hanya dengan menerapkan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, yang akan mampu menghilangkan segala konflik sosial di tengah masyarakat. Sebab masyarakat yang dibangun di atas dasar akidah Islam akan menjadi masyarakat yang cerdas dan bermartabat. Masyarakat yang dicintai dan mencintai pemimpinnya atas dasar iman dan takwa.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[ah/LM]