PPKM Darurat, Nyawa atau Materi yang Paling Berarti
Oleh : Cahyani Alfianti Islamiyah
Lensa Media News – Satu tahun lebih wabah covid-19 memasuki kawasan negeri dan belum teratasi. Jumlah kasus terinfeksi hingga angka kematian terus merangkak naik, dari ratusan hingga ribuan (Merdeka, 01/07/21). Upaya penanggulangan nyatanya menuai hambatan dan ketidakoptimalan.
Mulai dari PSBB yang membatasi kegiatan harian masyarakat tidak berjalan lancar, new normal yang kembali meningkatkan angka kematian dan kini pemerintah memiliki kebijakan baru yang disebut PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Kebijakan ini merupakan modifikasi kebijakan sebelumnya karena pertimbangan aspek ekonomi.
Menurut beberapa pakar epidemiolog, kebijakan ini dianggap sebagai solusi yang tanggung dalam menangani kasus yang ada, bahkan menganggapnya hanya sebagai pergantian istilah agar akses ekonomi tetap berjalan lancar (Merdeka, 01/07/21).
Mari menengok solusi kontra produktif yang telah diaplikasikan pemerintah sebelumnya yakni fasilitas peribadatan disegel pintunya, tetapi mal tetap dibuka begitu saja. Pendidikan daring dan work from home yang diterapkan tetapi para petinggi negeri malah mengampanyekan ajakan untuk berwisata. Begitu pula rakyat dilarang mudik, namun satu sisi warga negara asing (WNA) dan tenaga kerja asing (TKA) bebas masuk.
Hal ini jelas bukan tawaran serius dalam menangani kasus covid-19 yang merenggut puluhan ribu nyawa dalam sepenggal waktu. Bukan pula solusi ideal dalam memulihkan kondisi, mengurangi angka positif dan menekan laju penyebaran virus. Dan jika ditelusuri, semua tidak lepas dari kesalahan penerapan sistem yang diadopsi negara, yakni sistem kapitalisme.
Akibat kebijakan yang berlandaskan kapitalis (dalih mengedepankan penyelamatan ekonomi), dampaknya buruk bagi kehidupan masyarakat saat ini. Karena sistem kapitalis berdiri atas asas manfaat, berdasarkan timbangan untung atau rugi. Sehingga nyawa melayang seolah wajar di tengah pandemi. Jika sistem tersebut tetap dipertahankan, maka rakyat selamanya akan menjadi korban atas ketidakadilan dan kezaliman. Naudzubillahiminzalik.
Di tengah pandemi saat ini, sudah seharusnya pemerintah bermuhasabah dan melakukan taubatan nasuha. Terutama mencampakkan sistem batil buatan manusia dan berpegang pada satu sistem kebenaran dari sang Pencipta. Semua harus kembali pada hukum yang telah Allah tetapkan.
Karena sungguh hanya Allah-lah sebaik-baik pengatur dan pemberi pertolongan. Manusia hanya bisa berdoa dan berikhtiar, apalagi dalam kuasa rezim yang lebih condong pada materi. Tidak adanya batas yang haq dan batil karena semua dicampuradukkan untuk mencapai kepuasan duniawi.
Sistem yang haq itu adalah sistem Islam, dengan aturan yang bersumber langsung dari Sang Pencipta, yaitu Alquran dan Hadist. Sehingga mampu meriayah masyarakatnya dan menyelesaikan segala problematika yang ada sesuai dengan fitrah manusia.
Penguasa yang berpegang pada Islam jelas tidak akan berani bermain-main dengan nyawa rakyatnya, apa lagi hanya untuk mengejar materi dunia. Islam akan melahirkan pemimpin bertakwa dan amanah, yang sekuat tenaga mencurahkan segala potensi yang ada untuk menyelesaikan wabah.
Ia memahami bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah Swt. Karena “Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)
wallahu a’lam bishawab.
[ln/LM]