Muhasabah Lil Hukam, Kritik Rakyat kepada Penguasa Islam

Oleh : Ika Nur Wahyuni

 

Lensa Media News – Pemerintah dan DPR bersikukuh mempertahankan pasal tentang penghinaan presiden dalam RUU KUHP (RKUHP). Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dan seorang anggota DPR mengatakan pasal itu dibutuhkan untuk melindungi harkat dan martabat presiden dari hinaan yang merendahkan, tetapi tidak berlaku untuk kritikan mengenai kebijakan presiden.

Pasal yang sudah dihapus 15 tahun silam oleh MK ini, dimasukkan kembali dengan mengubah delik biasa menjadi delik aduan. Namun, pegiat HAM dan kelompok oposisi di DPR menganggap pencantuman kembali pasal tersebut dalam RKUHP, rawan salah penafsiran oleh aparat penegak hukum guna membungkam kritik terhadap penguasa.

Ketua YLBHI, Asfinawati bahkan menuntut pasal penghinaan presiden dihapuskan. Jika tetap dipaksakan, dia mengusulkan kasusnya dimasukkan sebagai perkara perdata saja. Menurutnya, hingga tahun 2021, YLBHI menangani kasus penghinaan kepada penguasa, mendampingi orang-orang yang terjerat UU ITE karena mengkritisi kebijakan pemerintah, bukan penghinaan (bbc.com, 10/6/2021).

Indonesia adalah negara republik yang menganut sistem demokrasi dalam bernegara dimana kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang. Pendapat rakyat (termasuk kritikan) adalah konsekuensi yang harus diterima bahkan diapresiasi dengan membuka ruang kritik publik. Sungguh sebuah ironi, demi kepentingan politik dan kekuasaan, pemerintah dan DPR terkesan tidak rela dan tidak siap dikritik. Apabila RKUHP disahkan, berpotensi membuat pemerintahan ini menjadi pemerintahan yang diktator, cenderung otoritarianisme. Sebab pasal yang dimasukkan itu terindikasi akan ditafsirkan sepihak oleh aparat penguasa, akibat dinamika pemahaman hukum seringkali dijumpai pasal karet seperti pada UU ITE yang kontroversial. Padahal secara gamblang sangat jelas perbedaan kritik dan penghinaan. Kritik lebih mengarah pada suatu kebijakan lembaga negara atau peraturan lainnya, tujuannya tidak lain sebagai bahan evaluasi agar kebijakan atau peraturan yang diambil menjadi lebih baik. Sedangkan penghinaan lebih membidik kepada individu atau personal dengan tujuan untuk menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Inilah salah satu anomali demokrasi. Dimana setiap undang-undang bisa diutak-atik, disesuaikan dengan kepentingan dan syahwat penguasa. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei) yang selalu dielu-elukan para pengusung demokrasi, hanyalah jargon kosong. Realitanya para wakil rakyat sering mengkhianati dan mencederai kepercayaan rakyat. Alih-alih membuat kebijakan yang pro rakyat, para wakil yang terpilih sebagai representasi dari masyarakat ini selalu membuat kebijakan yang merugikan bahkan mengabaikan kepentingan rakyat. Suara rakyat hanya dibutuhkan ketika pesta demokrasi berlangsung. Janji manis kesejahteraan dan politik uang bukan lagi hal yang tabu.

Berbeda bila Islam dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Kewenangan membuat hukum bukan berada di tangan sekelompok orang tapi di tangan Allah SWT meskipun pemerintahan dan kekuasaan adalah milik umat. Pengangkatan seorang pemimpin (Khalifah) melalui mekanisme yang sederhana sehingga terhindar dari politik uang, kecurangan, apalagi janji manis kesejahteraan.

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum syariah. Khalifah yang terpilih adalah insan yang terbaik diantara kaum muslimin. Baik dari segi akhlak, kemampuan, profesionalitas, dan kredibilitas berbalut keimanan dan ketaqwaan. Apakah pemimpin di dalam Islam (Khalifah) adalah orang yang sempurna tanpa cela dan anti kritik Tentu saja tidak! Setiap manusia pasti memiliki kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat untuk melakukan kontrol dan koreksi. Kaum muslim berhak menyampaikan pendapat baik berupa saran, nasihat, maupun kritikan kepada Khalifah sebagai kepala negara maupun kepada pejabat pemerintahan lainnya.

Dalam sistem Islam, menjadi kewajiban setiap muslim untuk melakukan muhasabah lil hukkam yaitu mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan. Selain itu kaum muslim juga berhak mengadakan syura dan menyampaikan pendapat. Semua aktivitas tersebut diwakili oleh Majelis Umat. Para anggota Majelis Umat inilah yang bertugas melakukan muhasabah dan syura.

Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat memiliki hak berbicara dan menyampaikan pendapat sesukanya serta mengoreksi Khalifah dan para pejabat negara lainnya tanpa suatu pencekalan ataupun keberatan. Khalifah beserta jajaran penguasa di bawahnya, wajib memberikan jawaban kepada Majelis Umat selama anggota majelis ini terikat dengan hukum syariah dalam melakukan tugasnya. “Hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang menyerukan al Khayr (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar” (QS. Ali-Imran [3]: 104).

Wallahu’alam bisshawwab.

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis