Nasionalisme Membuat Harapan Pengungsi Tak Bertepi

Oleh: Perawati

 

Lensa Media News – Lebih dari 13 ribu pengungsi di Indonesia menanti penempatan negara ketiga oleh UNHCR (United Nations of High Commisioner for Refugees). Nampaknya penantian ini semakin tidak pasti bagi pengungsi. Bertahun-tahun menunggu, bahkan berakhir dengan putus asa. Pencari suaka dan pengungsi bagaikan tersesat di Indonesia.

Dikutip dari BBC (25/04/2021), sebanyak 13 orang pencari suaka dari Afghanistan di Indonesia dalam tiga tahun terakhir tewas karena bunuh diri. Na’udzubillah. Meski demikian, hingga saat ini belum ada titik terang penyelesaian masalah pengungsi di Indonesia.

Padahal setiap tanggal 20 Juni, dunia tidak pernah lupa memperingati World Refugee Day atau Hari Pengungsi Sedunia. Tahun ini UNHCR mengambil tema: Together we heal, learn, and shine (Bersama kita sembuh, belajar, dan bersinar). Dalam peringatan tersebut Presiden AS, Joe Biden menyampaikan :”Pada hari ini, kami menegaskan kembali komitmen suci untuk meringankan penderitaan melalui bantuan kemanusiaan, dan melipatgandakan upaya untuk meraih solusi abadi bagi para pengungsi, termasuk dengan memukimkan mereka kembali. Kami juga kembali berkomitmen untuk melakukan upaya diplomatik guna mengakhiri konflik berkelanjutan yang mendorong para pengungsi mencari keamanan di tempat lain,” (VOAIndonesia.com, 21/06/2021).

Tapi semua itu hanya sebuah seremonial tahunan yang jauh dari nyata. Jangankan meraih solusi abadi seperti yang disampaikan Biden, kondisi mereka semakin memprihatinkan di pengungsian. Jumlah pengungsi pun terus meningkat. Berdasarkan data UNHCR jumlah pengungsi pada 2020 naik menjadi hampir 82,4 juta. Jumlah ini naik 4 persen dari 79,5 juta pada akhir 2019. Ini adalah jumlah tertinggi orang terlantar dalam sejarah perdaban kapitalistik.

Apalagi Indonesia termasuk negara yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 PBB. Karena hal ini pula, Indonesia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menerima, menampung, dan memberikan hak-hak individual dari para pengungsi yang datang.

Walhasil pemandangan pengungsi mendirikan tenda dan tidur di trotoar Kebun Sirih, di depan kantor UNHCR Jakarta suatu yang wajar. Yang mengiris hati para pengungsi ini muslim dan kita adalah negeri muslim terbesar di dunia. Pemimpin negeri ini pun tau bahwa mereka terusir dan melarikan diri dari negaranya akibat konflik berkepanjangan. Melihat kondisi yang sangat memprihatinkan ini, apakah mungkin pengungsi akan bersinar? Nampaknya sangat sulit dalam peradaban kapitalistik diraih pengungsi. Semua terhalang oleh sekat negara bangsa (nation state).

Selain itu, peradaban kapitalistik telah membuat nilai-nilai kemanusiaan dan tolong-menolong menjadi pudar terkalahkan oleh kerakusan dan paham nasionalisme sempit. Yaitu sebuah paham yang menurut Hans Kohn dalam Nasionalism: Its Meaning and History adalah sikap pandang individu bahwa kesetiaan tertinggi harus diserahkan pada negara bangsa.

Paham inilah yang mencabut ukhuwah Islamiyyah dari tubuh umat Islam yang berbeda bangsa. Atas nama nasionalisme, negeri-negeri muslim seolah menutup mata atas derita saudaranya. Sungguh nyata konsep nation state adalah konsep gagal yang memiliki banyak kelemahan dan ikatan pemersatunya sangat sempit. Sedangkan dalam Islam, kaum muslimin disatukan dalam ikatan akidah Islam.

Masih segar diingatan kita peristiwa hijrah kaum muhajirin Mekah ke Madinah. Mereka disambut dengan suka cita oleh kaum Anshar. Merekapun dipersaudarakan atas dasar akidah Islam. Itulah gambaran negara Islam yang diterapkan dalam bingkai khilafah.

Khilafah-lah yang dapat mewujudkan persaudaraan sesama muslim bagaikan satu tubuh tanpa sekat-sekat kebangsaan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan baik (sakit) demam dan tidak bisa tidur” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam redaksi lain bahwa kaum muslimin bagaikan sebuah bangunan yang saling memperkuat antara satu dan lainnya. Rasulullah SAW mengatakannya sambil memasukkan jari-jari tangan ke sela jari-jari lainnya (HR. Bukhari).

Maka dari itu, sudah sangat jelas perintah Islam bagi penguasa muslim untuk segera melakukan tindakan pertolongan terhadap pengungsi. Konflik kemanusiaan akan berakhir dengan menyatukan negeri-negeri muslim dan penghapusan garis perbatasan. Paradigma kewarganegaraan dalam Islam berdasarkan tempat tinggal. Seseorang yang menetap di dalam wilayah khilafah maka dia adalah warga negara yang berhak menerima seluruh haknya sebagai jaminan.

Oleh karena itu, satu-satunya solusi atas pengungsi adalah tegaknya institusi pemersatu umat yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah. Yang akan menjadi pelindung umat dari segala macam marabahaya dan segala bentuk penindasan terutama dari kaum kafir.

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis