Vonis di Luar Nalar, Ironi Negeri Sekuler Demokrasi

Oleh: Trisnawati, S.Kom

(Aktivis Muslimah)

 

Lensa Media News – Drama penegakan hukum di Indonesia kembali menuai sensasi. Rentetan alur cerita ketidakadilan hukum menghiasi di tengah sakitnya negeri dari berbagai sisi. Lonjakan kasus covid-19, keterpurukan ekonomi, hingga suburnya para tikus-tikus perongrong negeri sepertinya tak membuat rezim berbenah diri. Justru perhatiannya masih saja tertuju kepada pihak yang berseberangan dengan rezim. Belum lama, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Habib Rizieq Shihab (HRS). Ulama yang dikenal vokal mengkritisi kebijakan rezim divonis dengan dakwaan menyebarkan kebohongan melalui YouTube dan menyebabkan keonaran terkait hasil swab di Rumah Sakit UMMI Bogor. Namun, sudah menjadi rahasia umum bagaimana rezim menggunakan bermacam cara untuk membungkam sikap kritis HRS. Sampai-sampai kesalahan yang juga dilakukan oleh orang lain menjadi luar biasa yang berujung jeruji bagi sang ulama.

Menanggapi vonis tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menilai hukuman yang dijatuhkan kepada HRS yang hanya gara-gara tes swab sangat berlebihan. Di samping itu juga tidak adil jika dibandingkan dengan kasus pidana maupun kasus korupsi. Ia pun mengkritisi penggunaan pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 yang menurutnya pasal tersebut dibuat pada tahun 1946 dan merupakan pasal warisan kolonial Belanda (news.detik.com, 25/6/2021).

Senada dengan Fadli Zon, Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma menilai vonis hakim kepada HRS sangat mencederai rasa keadilan rakyat. Pasalnya, terkait penyebaran informasi bohong, banyak sekali kasus penyebar informasi bohong yang sudah dilaporkan ke polisi, namun tidak juga ditindak. Lieus pun menilai jika vonis yang dijatuhkan kepada HRS lebih bersifat politis ketimbang dilandasi upaya menegakkan hukum berdasarkan keadilan dan kebenaran (rmolbanten.com, 25/6/2021).

Miris! Vonis suka-suka yang dipertontonkan rezim sejatinya menambah luka masyarakat ditengah karut marutnya peri’ayahan (pengurusan) penguasa terhadap rakyat. Saat ada ulama yang kritis, tak tanggung-tanggung vonis di luar nalar menanti, sementara perampok harta rakyat mendapat hukuman ringan, pemotongan vonis, pemberian grasi, bahkan bisa bebas dari jerat hukuman.

Ketidakadilan yang dirasakan saat ini memang wajar adanya sebab sanksi yang diterapkan adalah sanksi dalam sistem sekuler demokrasi yang asalnya dari akal manusia. Tidak hanya itu, sistem sekuler juga menjauhkan agama dari kehidupan, dimana peran Allah SWT. sebagai pengatur dan pemutus perkara ditampikan. Alhasil hukum menjadi subjektif dan sarat akan kepentingan para pembuatnya. Dengan mekanisme seperti ini, sudah pasti melahirkan ketidakadilan yang sistematis.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, peradilan yang berasaskan akidah Islam menjadikan Allah SWT. dan rasul-Nya sebagai hakim atas semua perkara dalam kehidupan manusia. Jika menilik lebih dalam, sistem peradilan Islam yang diterapkan lebih dari 13 abad lamanya terbukti mampu memberikan keadilan baik kepada muslim ataupun non muslim maupun pejabat negara.

Dalam sistem Islam tidak akan ditemukan adanya ketimpangan hukum karena sumber hukumnya sudah sangat jelas dan disepakati oleh para ulama, yaitu Al-Quran, As-sunah, ijma‘ sahabat dan qiyas syar’i. Dengan kejelasan sumber hukum inilah segala perselisihan akan dapat dihindari karena rujukannya sudah baku dari wahyu Allah SWT. Selain itu, Islam juga mempunyai sistem sanksi yang eksplisit. Adapun bentuk-bentuk sanksi dalam peradilan Islam dikategorikan menjadi empat macam, yaitu hudud, qishas, taz’ir dan mukhafalat. Masing-masing jenis sanksi memiliki kategori kejahatan disertai hukuman yang akan diberikan kepada pelaku. Dengan penerapan sanksi-sanksi yang demikian, hukum tidak akan mudah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Hasilnya keadilan pun akan dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Firman Allah SWT., “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka peselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. an-Nisa: 65).

Wallahua’lambishawwab.

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis