Terlilit Utang, Ekonomi Indonesia Kian Pincang
Oleh: Silvia Anggraeni, S. Pd
Lensa Media News – “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR Muslim Nomor 1886).
Bahkan kemuliaan sebab mati syahid pun tak mampu menghapus dosa utang yang belum tertunaikan. Utang memang suatu hal yang diperbolehkan selama tidak ada riba di dalamnya serta wajib mengupayakan pembayarannya.
Sementara dalam skala negara, Islam memperbolehkan utang asal tiga syarat ini terpenuhi. Yang pertama, harta yang diambil para koruptor telah dikembalikan seluruhnya. Kedua, keuangan negara defisit. Dan ketiga, seluruh utang negara dialokasikan untuk kebutuhan primer bukan kebutuhan sekunder.
Selain keharaman bunga yang ada dalam utang, perlu diketahui juga bahwa jika suatu negara bergantung pada utang luar negeri maka akan berpotensi mencederai kedaulatan bangsa. Telah banyak negara yang harus rela menuruti keinginan negara lain yang telah memberinya pinjaman.
Jadi, bukan tanpa alasan untuk Indonesia lebih waspada. Pasalnya utang Indonesia kini sudah lebih dari 6000 T dan telah menyentuh level bahaya. Melansir CNN Indonesia, 22/06/2021: Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam Rapat Paripurna DPR RI menyampaikan Indonesia mengalami penurunan kemampuan untuk melunasi utang beserta bunganya karena telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
Ancaman besar tengah mengintai Indonesia, bukan tak mungkin Indonesia akan tergadai nantinya. Jika dicermati lebih dalam, utang yang menggunung disebabkan kesalahan penguasa dalam mengurus ekonomi. Di satu sisi koruptor dibebaskan, kepada asing SDA diserahkan, sementara di sisi lain utang dikembangbiakkan, jelas ini tak sejalan. Compang-camping sudah ekonomi Indonesia dalam asuhan demokrasi-kapitalisme. Sejahtera kian terpuruk, utang kian menumpuk.
Kedaulatan ekonomi amatlah penting bagi suatu negara. Utang berbunga yang terus menggunung tak ubahnya seperti menggadaikan negara. Kita harus segera berbenah, caranya hanya bisa dengan mengganti sistem yang ada.
Kegagalan Demokrasi dalam mengurus negeri harus segera diakhiri. Waktunya kita kembali pada sistem Islam sebagai satu-satunya jalan untuk kembali pada kemerdekaan ekonomi. Secara praktis sistem Islam melalui ke-Khilafahan akan menyelesaikan semua sisa utang yang ditinggalkan oleh penguasa sebelumnya, namun tanpa membayar bunganya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah taala: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.” (TQS. al-Baqarah (2): 278).
Selanjutnya Khilafah mengembalikan semua harta negara yang diambil secara batil. Sehingga semua harta milik negara akan kembali pada pos penggunaannya. Semua SDA yang dikelola asing pun akan di ambil alih oleh negara.
Pengelolaan kekayaan negara yang tepatlah yang membuat Khilafah mampu berdaulat secara ekonomi. Inilah yang kita butuhkan saat ini yaitu pemimpin yang memiliki dua sifat yang disebut dalam Alquran:
Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.”
Ya, kita butuh pemimpin yang pandai menjaga dan berpengetahuan.
Wallahu Alam Bisshawab
[iui/LM]