Menetapkan Pajak, Bijak atau Malak?

Oleh : L. Nur Salamah, S.Pd

(Komunitas Aktif Menulis & Kontributor Media)

 

Lensa Media News –Sudah jatuh tertimpa tangga”. Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat disematkan untuk kondisi umat saat ini. Himpitan hidup karena sulitnya masalah ekonomi dan musibah pandemi covid-19 yang tak kunjung usai, ditambah dengan dikeluarkannya wacana naiknya pajak untuk sejumlah barang dan jasa, jelas ini sangat melukai hati rakyat. Beberapa waktu yang lalu masyarakat memang dikejutkan dengan berita mengenai wacana akan dinaikkannya PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk sejumlah barang dan jasa, yaitu PPN sembako dan pendidikan. Seperti dilansir dari laman tempo.co (17/06/2021), menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan bahwa, salah satu alasan ditetapkannya PPN sembako dan pendidikan karena pandemi covid-19 telah mengakibatkan sumber penerimaan kas negara tertekan.

Sontak, wacana tersebut menuai kontroversi. Salah satunya dari ekonom INDEF. Seperti dilansir dari laman republika.co.id (19/06/2021), Dradjad Hari Wibowo, memberi tiga alasan mengapa pemerintah sebaiknya tidak mengenakan pajak terhadap sembako dan pendidikan. Di samping itu juga mengingatkan bahwa pertanian merupakan sektor yang paling konsisten pada masa pandemi covid-19.

Beliau memaklumi gagasan pemerintah tentang wacana ekonomi dan fiskal. Namun, pengenaan pajak untuk sembako dan pendidikan adalah kebijakan yang kontraproduktif. Oleh karena itu, beliau memberikan saran, seyogyanya pemerintah mengejar potensi pemasukan dari sumber yang lain. Tentu dengan cara yang baik, tidak menggunakan kekuasaan.

Meskipun baru berupa rencana, pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sembako dan pendidikan yang tercantum dalam draf revisi kelima UU nomor 6 tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (RUU KUP) jelas membuat rakyat makin gelisah. Betapa tidak? Pajak akan mengakibatkan harga sembako di pasaran melonjak.

Dengan bocornya dokumen draf RUU KUP tersebut, akhir-akhir ini pemerintah mengklarifikasi dengan menyatakan bahwa tidak semua sembako dikenakan PPN. Sembako non-premium yang ada di pasar tradisional tidak akan terkena PPN. Begitu halnya dengan sekolah, tidak semua sekolah akan dikenai pajak. Pemerintah hanya akan memajaki sekolah-sekolah terpilih yaitu sekolahnya orang-orang kaya atau sekolah premium (kompas.com, 15/06/2021).

 

Alih-alih Mencari Solusi, Justru Menyakiti

Di tengah karut-marut perekonomian akibat pandemi covid-19 yang tak tahu kapan berakhirnya, kehidupan rakyat makin terhimpit dengan melambungnya harga kebutuhan bahan pokok. PHK terjadi di mana-mana, biaya pendidikan yang tidak murah, ditambah lagi dengan wacana naiknya PPN untuk sembako dan pendidikan. Jelas akan menambah beban penderitaan bagi rakyat. Alih-alih mencari solusi untuk mengatasi kas negara yang banyak terkuras akibat pandemi, justru malah menyakiti dengan wacana diberlakukannya pajak untuk sejumlah barang dan jasa.

Berbagai macam pungutan atau pajak yang diberlakukan terhadap rakyat merupakan tabiat para kaisar dan raja-raja serta para pemimpin dari luar Islam. Mereka biasa memungut upeti dari rakyatnya, baik pajak emas maupun hewan ternak dan budak. Dalam era sekarang ini, negara-negara yang mengadopsi sistem kapitalis juga memungut pajak dari rakyat dengan beragam jenis pajak. Mulai dari pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan dan lain sebagainya. Ditambah wacana pajak sembako, pajak pendidikan, bahkan ibu-ibu yang melahirkan pun akan dikenai pajak. Ini sebuah langkah yang bijak atau perilaku malak?

Seperti inilah realitas kehidupan saat ini, sudahlah terhimpit masalah ekonomi, beban hidup yang semakin berat, dan abainya negara dalam memenuhi hajat hidup rakyatnya. Apakah mereka tidak merasa takut dengan ancaman neraka bagi pemungut pajak? Rasulullah SAW. bersabda:
ان صاحب المكس في النار
Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR. Ahmad)

Lantas, bagaimana Islam memandang masalah pajak?

 

Pajak dalam Pandangan Islam

Islam merupakan agama sempurna yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan tuhannya, dan mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain. Pajak masuk dalam pembahasan aturan mengenai hubungan manusia dengan manusia yang lain. Pajak (dhoribah) adalah harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka (diwajibkan atas Baitul Mal) serta pihak-pihak yang diwajibkan atas mereka, namun Baitul Mal tidak dapat memenuhi hal tersebut, karena mengalami defisit atau kekurangan dana, yang disebabkan oleh musibah yang berkepanjangan dan paceklik. Maka, dalam kondisi yang demikian, negara boleh memungut pajak dari rakyatnya. Namun, tidak dibebankan kepada seluruh rakyat, melainkan hanya kapada mereka yang berkecukupan dan mereka yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya (aghniya), tidak berlaku untuk kafir dzimmi, dan hanya bersifat sementara. Jika kondisi sudah kembali normal, pajak tidak lagi diberlakukan.

Wallahu’alam bishowwab.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis