Tunduknya Hukum di Kaki Pinangki dan Mandulnya Sanksi

Oleh: Ummul Asminingrum, S.Pd.

 

Lensa Media News – Beranda media sosial dan media online sedang ramai memberitakan kasus ‘sunat’ hukuman Pinangki. Bahkan, sebanyak 16.542 orang telah menandatangani petisi agar jaksa menggunakan kasasi atas vonis Pinangki Sirna Malasari (detiknews, 20/06/2021).

Kasus jaksa Pinangki ini benar-benar mencederai rasa keadilan masyarakat. Bagaimana tidak? Pinangki yang awalnya divonis 10 tahun penjara, kini ‘disunat’ menjadi 4 tahun. Pinangki telah terbukti melakukan kejahatan dalam kasus buronan korupsi perbankan Djoko Candra, menerima gratifikasi sebesar 500.000 USD, pencucian uang dan pemufakatan jahat.

Alasan ‘penyunatan’ hukuman Pinangki adalah sebagai berikut: pertama, karena dia telah mengakui kesalahannya. Kedua, karena dia rela diberhentikan dari profesi jaksa, ketiga karena ia ibu dari seorang balita berusia empat tahun. Terakhir, karena ia seorang wanita yang butuh perlindungan.

Tak hanya masyarakat umum yang geram atas putusan pengadilan tinggi. ICW dan beberapa pakar hukum menilai potongan hukum ini tak masuk akal. Padahal Pinangki bukan satu-satunya wanita yang terkena kasus serupa. Ada politisi Demokrat Angelina Sondakh yang terjerat kasus korupsi, namun tetap menjalani hukuman sebagaimana mestinya. Terlebih posisi Pinangki sebagai seorang jaksa, yang mestinya memberikan keteladanan dalam penegakan hukum. Namun, yang ada ia malah mencoreng institusinya.

Inilah bukti nyata betapa cacatnya hukum hasil produk akal manusia yang amat lemah dan terbatas. Demokrasi mengandung banyak kelemahan, rentan dipermainkan dan selalu digunakan sesuai kepentingan. Sehingga tak mungkin diharapkan bisa mencegah kejahatan dan menciptakan keadilan.

Nyatanya demokrasi begitu produktif dalam melahirkan mafia peradilan, termasuk dalam kasus Pinangki. Patut kita curigai siapa dalang dibalik kasus ini. Sebab kejanggalan disini bukan hanya soal hukumannya saja. Namun, juga jalur aksesnya hingga bisa tembus pada lembaga tinggi negara. Terlebih bermain dengan kasus-kasus kelas kakap.

Kasus Pinangki hanya satu diantara banyaknya kasus serupa. Hal ini telah menunjukkan betapa bobroknya tatanan hukum di Indonesia. Semua ini tak lepas dari sistem politik yang dianut negeri ini. Demokrasi dengan konsep Trias Politica hanya mampu menciptakan lingkaran mafia. Mulai dari legislatif pembuat hukum, yudikatif penegak hukum dan eksekutif pelegal hukum.

Julukan Indonesia sebagai surganya para koruptor makin nyata. Pada tahun 2020, lembaga pemantau korupsi global Transparency Internasional menetapkan posisi Indonesia sebagai negara terkorup ketiga di Asia. Hal ini disebabkan lemahnya hukum di Indonesia. Lagi-lagi ini tak lepas dari mandulnya sanksi yang diproduksi demokrasi. Hukuman yang ada tak mampu menimbulkan efek jera. Alih-alih membuat orang lain takut melakukan hal yang sama. Inilah kelemahan hukum buatan manusia bisa dibeli dan diakali.

Saatnya kita kembali kepada hukum Ilahi. Merombak semua aturan di negeri ini dalam semua lini. Tak hanya sistem hukumnya yang harus dibenahi. Namun juga aspek yang lain seperti ekonomi, pendidikan, sosial, sanksi dan lain-lain. Sebab satu sistem sejatinya berkaitan dengan sistem yang lainnya.

Islam adalah satu-satunya sistem yang sahih dan mampu memberikan keadilan bagi seluruh umat manusia. Sebab sistem ini lahir dari Wahyu Ilahi, Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah zat yang telah menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan. Tentu Dia pula sebaik-baik pembuat hukum.

Aturan-aturan hidup dalam Islam bukan hanya konsep belaka. Namun, lengkap dengan tatacara pelaksanaannya. Semua itu menuntut adanya negara sebagai institusi pelaksananya. Islam tidak bisa berkolaborasi dengan demokrasi atau sistem batil lainnya. Oleh karena itu, kehadiran negara sebagai bingkai penerapan Islam kaffah mutlak adanya.

Wallahua’lam bishawwab.

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis