Menghitung Amal (Bag 2- Habis)
Oleh: Anita Rachman
(Muslimah Peduli Peradaban)
Tsaqofah – Pada bahasan “Menghitung Amal bagian 1″, disampaikan bahwa ternyata manusia diciptakan hanya untuk diuji siapa yang paling baik amalnya, sebagaimana firman Allah dalam Surat Mulk: 2. Bukan yang paling banyak, bukan yang paling penting, bukan yang paling besar. Tolok ukur amal baik yang dimaksud harus memenuhi dua syarat: 1) Ikhlas karena Allah; dan 2) Caranya benar, sesuai dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Ciri-ciri amal yang ikhlas telah dibahas pada bagian 1. Maka tulisan ini akan membahas syarat yang kedua, yaitu cara yang benar.
Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Hasyr: 7: “.… Apa yg diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yg dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah….” Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, makna dari ayat ini adalah: apapun yang diperintahkannya kepada kamu maka kerjakanlah, dan apapun yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Karena dia (Rasulullah) hanyalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan.
Perintah mengikuti sunah Rasulullah SAW. terdapat pula dalam banyak hadis. “Barangsiapa yg melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Muslim). “Siapa yang mengada-adakan–dalam urusan (agama) kami ini–sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak. ” (HR. Bukhari).
Amal yang sudah kita lakukan dengan ikhlas dan tujuan yang mulia, bisa menjadi sia-sia hanya karena caranya tidak benar. Misalnya, seorang ayah yang bekerja mencari nafkah ikhlas karena Allah tapi dengan cara mencuri, maka bukan hanya amalnya yang tidak diterima, tapi justru mendapatkan dosa. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).
Para ulama pun banyak menjelaskan terkait dengan hal ini, diantaranya adalah Said Bin Zubair yang menyampaikan: “Tidak diterima suatu perkataan, tanpa amal. Tidak diterima suatu perkataan & amal, tanpa niat. Tidak diterima suatu perkataan, amal & niat, kecuali sesuai dengan sunah Nabi.” Sementara itu, Imam Malik mengibaratkan: “Sunah Rasul SAW. itu ibarat perahu Nabi Nuh. Siapa yang menumpanginya akan selamat, sedangkan yang tidak, akan tenggelam. Umar Bin Khattab selalu berdoa, ‘Ya Allah, jadikanlah perbuatanku semua benar dan jadikanlah amalku itu ikhlas karena-Mu semata. Dan janganlah Engkau jadikan amalku sama sekali karena dipuji orang lain.”
Seperti apakah cara yang benar sesuai sunah itu? Faktanya, makna kata sunah yang dipahami umat masih belum sama. Selama ini sunah dipahami dengan makna sempit, yaitu sebatas perbuatan yang hukumnya sunah. Jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan merugi, meskipun tidak berdosa. Padahal, sunah Nabi bermakna luas, mencakup tiga makna.
Pertama, sunah adalah hukum yang datangnya dari Allah, baik berdasarkan Al-Quran maupun hadis. Hukum Allah terdiri atas wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Pada poin ini, kita wajib mengikuti hukum yang sudah Allah tentukan. Jika wajib maka harus dikerjakan, jika haram wajib ditinggalkan, dan seterusnya.
Kedua, sunah bermakna perbuatan Nabi Muhammad SAW. sebagai manusia pada umumnya (sunah jibiliyah), misalnya makan, minum, tidur, dan lain lain. Sunah nabi ini boleh diikuti. Apakah mendatangkan pahala? Harus dilihat dulu, adakah dalil yang memuji perbuatan nabi tersebut? Mengikuti sunah jibiliyah atas dasar rasa cinta kepada nabi, balasannya sebagaimana dalil yang menyebutkan “kita akan dikumpulkan bersama orang-orang yang kita cintai.” Namun bukan berarti orang yang tidak mengikuti sunah jibiliyah tidak termasuk ahlusunnah.
Ketiga adalah sunah bermakna perbuatan nabi yang haram untuk diikuti (ghairu jibiliyah). Diantaranya adalah menikah lebih dari 4; boleh menikah tanpa mahar & tanpa wali. Nabi pernah satu kali dinikahkan oleh Allah langsung, tanpa mahar dan tanpa wali; wajibnya salat malam dan bolehnya menyambung puasa. Juga aktivitas istri nabi yang wajib memakai cadar dan tidak boleh menikah lagi sepeninggal nabi. Maka perbuatan-perbuatan ini termasuk sunah yang dikhususkan bagi nabi saja dan tidak untuk diikuti oleh umatnya.
Dalam aktivitas ibadah maka kita wajib mengikuti sunah nabi bermakna hukum yang datangnya dari Allah. Mulai dari salat, zakat, puasa, haji, bermuamalah, hingga dakwah. Dalilnya jelas, Allah berfirman: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43). Kemudian ayat ini dirinci oleh hadis Rasulullah SAW.: “Salatlah kalian seperti kalian melihat bagaimana aku shalat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad).
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Maka dalam berdakwah, kita pun wajib mengikuti sunah nabi. Metode dakwah nabi periode Mekkah diawali dengan pembinaan secara diam-diam, kemudian mulai berinteraksi dengan masyarakat, dilanjutkan memperjuangan penerapan syariat secara kaffah, hingga akhirnya tegak di Madinah. Dengan demikian, memperjuangan tegaknya syariat Islam sesuai dengan thariqah (metode) Rasulullah adalah sunah yang bermakna wajib diikuti, karena ada dalilnya dan merupakan bagian dari hukum Allah.
Jadi, melakukan amal perbuatan mulai dari tatacara salat, zakat, puasa, haji, bermuamalah hingga dakwah, yang benar sesuai sunah Rasulullah SAW. adalah wajib. Karena ini menjadi syarat kedua diterimanya amal (ihsanul amal), setelah syarat yang pertama yaitu ikhlas, yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya.
Wallahu’alambishawwab.
[lnr/LM]