Problem Kronis (Korupsi) di Negeri Agraris
Oleh: Siti Farihatin, S.Sos.
(Guru Kober dan Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Lensa Media News – Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati bahwa mayoritas Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak mengetahui terjadinya perilaku korupsi di instansinya bekerja. Riset mendapati kalau 39,2 persen PNS sama sekali tidak mengetahui dan 30,4 persen kurang tahu terjadinya korupsi di instansinya. “Artinya mayoritas 69,6 persen kurang tahu/sama sekali tidak tahu,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi virtual di Jakarta, Ahad (18/4). (Republika.co.id, senin 18/04/2021)
Sedangkan terdapat 25,5 persen PNS yang sangat atau cukup tahu adanya kemungkinan korupsi di instansinya. Rinciannya, sebanyak 3,1 persen sangat tahu dan 22,4 persen cukup tahu. Djayadi mengatakan, terdapat empat praktik koruptif tersebut dinilai sedikit atau sangat sedikit terjadi antara PNS dengan suatu pihak. Dia melanjutkan, praktik yang lebih banyak dinilai terjadi adalah PNS menerima uang untuk melancarkan urusan suatu pihak dan PNS didekati secara personal untuk sewaktu-waktu diminta bantuan. “Juga PNS menerima barang untuk melancarkan urusan dan PNS menerima layanan pribadi,” katanya. (Republika.co.id, senin 18/04/2021).
Problem korupsi sudah mendarah daging, sudah menjadi rahasia umum di instansi-instansi bertebaran praktek korupsi mulai yang kroco hingga taraf sultan. Polemik korupsi ini menjadi PR besar bagi jajaran pemerintahan untuk memghapus sampai ke akar-akarnya agar tidak terjadi lagi dan lagi bahkan menjadi ajang unjuk gigi apalagi dalam lingkungan PNS.
Dalam sistem sekular ini, problem korupsi adalah problem yang sistemik tapi sayangnya solusi yang diambil tidak mengarah ke sistem secara menyeluruh. Ketika ada praktek korupsi di jajaran pemerintahan, maka yang dilakukan hanya memberikan sanksi, teguran dan maksimal hukuman yang ditautkan hanya pemecatan. Hal ini menjadikan praktik korupsi yang ada menjadi tumbuh sumbur dan menjadi praktik yang biasa karena sanksi yang diberikan tidak mampu menjerakan bahkan tidak sama sekali menyentuh pada sistem.
Lantas, bagaimana seharusnya problem yang sistemik ini bisa diuraikan benang merahnya? Sehingga praktik korupsi tidak akan menjadi ajang para pegawai demi untuk memuaskan nafsu para pegiat kapital di jajaran instansi.
Jawabannya hanya satu, kita membutuhkan sistem yang mampu untuk mendobrak praktik-paraktik kemaksiatan (korupsi) yang notabenenya hanya akan merugikan negara bahkan menumbuhkan penyakit kronis di kalangan instansi. Sistem yang mampu untuk menyelesaikan permasalahan sistemik sehingga praktek korupsi tidak akan bermunculan.
Islam memberikan solusi yang sistemik untuk problem ini (korupsi), ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk memberantas penyakit kronis (korupsi) ini. Antara lain:
Pertama, sistem penggajian yang layak. Para pegawai yang bekerja di sebuah instansi harus mempunyai gaji yang layak sehingga mereka tidak akan mencari penghasilan sampingan untuk mensejahterakan hidup.
Kedua, perhitungan kekayaan. PNS yang menjabat di sebuah instansi harus melaporkan kekayaanya mereka sebelum menjabat dan sesudah menjabat, hal ini sebagai acuan ketika seorang PNS korupsi maka kekayaan mereka akan bertambah dengan tidak wajar.
Ketiga, teladan seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus mempunyai sikap yang tegas dalam bertindak dan bertanggung jawab. Seorang memimpin harus mampu mengendalikan dirinya agar tidak terjerat dalam kemaksiatan (korupsi), sehingga mereka bisa menjadi tauladan bawahannya.
Keempat, larangan menerima hadiah dan suap. Sikap ini jelas, tidak boleh. Aparat negara tidak boleh menerima suap atau hadiah sedikit ataupun banyak demi untuk melancarkan aktivitas yang dilakukan.
Kelima, pengawasan masyarakat. Kontrol masyarakat sangat berperan dalam hal ini karena dapat memberikan informasi ketika terjadi aktivitas korupsi di instansi pemerintahan.
Keenam, hukuman yang setimpal. Hukuman ini (sanksi) harus diberikan kepada PNS ketika mereka melakukan praktik korupsi di instansi pemerintahan.
Wallahu a’lam.
[ra/LM]