Korupsi, Penyakit Kronis di Sistem Sekuler Kapitalis
Oleh : Yulweri Vovi Safitria
Lensa Media News – Baru-baru ini, Lembaga Survei Indonesia melakukan riset tindakan korupsi di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN). Didapatkan bahwa 69,6 persen kurang tahu jika di instansi mereka ada tindakan korupsi. Hal ini disampaikan oleh direktur eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi virtual di Jakarta, Ahad (18/4). Djayadi menambahkan, kurangnya pengawasan, mendorong PNS untuk melakukan tindakan korupsi. Bahkan dalam survei didapati 49 persen kegiatan korupsi terjadi karena kurangnya pengawasan, 34,8 persen karena ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa, 26,2 persen akibat gaji yang rendah, 24,4 persen menilai korupsi bagian dari budaya, 24,2 guna mendapatkan uang tambahan di luar penghasilan rutin. Survei ini dilakukan secara acak terhadap 1.200 responden di 14 provinsi, dalam rentang waktu 3 Januari hingga 31 Maret 2021. (republika.co.id, 18/4/2021)
Senada dengan itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, tak menampik adanya PNS atau ASN yang terjerat kasus korupsi. Tjahjo menyebutkan bahwa Kemenpan RB, rata-rata memberhentikan 20 hingga 30 persen PNS setiap bulannya karena tersandung kasus korupsi. Mulai dengan membebaskan tugaskan selama proses hukum berlansung hingga memberhentikan secara tidak hormat.
Lagi-lagi Korupsi
Korupsi atau rasuah sudah menjadi hal biasa. Ia ibarat penyakit kronis yang tidak ada obatnya. Peluang untuk melakukan korupsi seakan terbuka lebar bagi mereka yang mudah goyah imannya. Beberapa tempat disebutkan paling rawan korupsi diantaranya adalah pengadaan barang, perizinan usaha, bagian keuangan, bagian pelayanan serta bagian personalia. Ya, masalah yang berkaitan dengan uang memang rentan untuk dikorupsi, tentu saja bagi mereka dengan tingkat kesadaran rendah akan tanggung jawabnya terhadap amanah.
Rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat bahwa praktik korupsi atau rasuah termasuk dalam kategori mencuri, menjadikan tindakan korupsi menjadi hal biasa dilakukan untuk melancarkan usaha dan memuluskan berbagai proyek. Ditambah lagi, tidak adanya aturan dan hukum yang jelas mengenai tindakan korupsi, serta tidak ada sanksi yang tegas terhadap para pelaku. Sehingga, tindakan korupsi menjadi hal biasa, asal suka sama suka, imbalannya sesuai dengan kerja, maka sah saja melakukannya.
Tidak bisa dipungkiri, praktik korupsi telah menjangkiti seluruh sendi. Tidak mengenal kasta, agama dan usia. Taat agama tidak lagi menjadi standar ketaatan terhadap aturan yang Allah turunkan. Karena agama diposisikan sebagai urusan individu terkait ibadah wajib. Sedangkan aturan hidup, politik, ekonomi, muamalah dan lainnya tidak diatur oleh aturan agama. Kesemuanya itu diatur oleh aturan buatan manusia, maka tidak heran bila kasus korupsi tetap ditemukan.
Korupsi dalam Islam
Dalam Islam praktik korupsi disebut dengan istilah risywah atau suap, saraqah atau pencurian, al-gasysy atau pengkhianatan. Ketiga hal tersebut merupakan perbuatan tercela, bagi yang melakukannya akan mendapatkan dosa besar.
Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 29 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Dengan demikian praktik korupsi sama saja dengan mencuri, dan mencuri adalah haram hukumnya. Meskipun sudah Allah Swt. kategorikan sebagai pencuri dan hartanya sebagai hasil curian, namun tidak serta merta membuat masyarakat jera. Karena faktanya, masih saja ditemukan orang-orang yang tersandung kasus korupsi.
Saat ini, hukuman bagi para pelaku korupsi tidak ada yang memberikan efek jera. Solusi yang diambil hanya bersifat sementara, dan tidak menyentuh titik vital yaitu sistem yang sedang diadopsi. Seperti misalnya korupsi yang terjadi dilingkungan ASN, tindakan yang dilakukan hanya sebatas pemecatan dan pemberian sanksi. Sedangkan akar penyebab dari timbulnya perilaku korupsi tidak tersentuh sama sekali.
Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Aturan Islam memberikan sanksi tegas bagi pelaku korupsi. Seperti misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, tergantung dengan jumlah barang hasil curian, rajam bagi pezina, dan hukum cambuk. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku juga bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan hal serupa.
Dengan demikian, akan muncul kesadaran masyarakat bahwa ia terikat oleh aturan dari Rabbnya. Sehingga setiap tindakan yang ia lakukan berdasarkan aturan syariat, bukan kepentingan pribadi maupun kepentingan yang lainnya. Dan juga menyadari bahwa ketaatan terhadap aturan yang Allah turunkan untuk manusia sejatinya adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Maka hanya keterikatan terhadap hukum syara’lah yang mampu memberantas korupsi hingga ke akarnya. Wallahu’alam bis shawab. [LM/Mi]