Rencana Reshuffle, Akomodasi Politik Belaka?

Oleh: Titin Kartini
(Penggiat Literasi)

 

Lensa Media News – Berseliweran kabar tentang reshuffle beberapa menteri dan menimbulkan perdebatan di antara elite politik partai. Salah satunya datang dari Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu. Ahmad Syaikhu berharap reshuffle dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan untuk kepentingan akomodasi politik, melainkan untuk membantu kerja presiden dalam menjalankan roda pemerintahan ke depan.

Syaikhu menuturkan, bahwa reshuffle merupakan hak prerogatif presiden. Namun, dirinya mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak hanya terbatas memilih calon menteri dari kalangan profesional non partai. Menurutnya ada banyak kalangan profesional di dalam partai yang juga memiliki kemampuan baik (Harianaceh.co.id, 15/4/2021).

Setiap pergantian Menteri selama ini pasti menimbulkan perdebatan tentang dugaan adanya akomodasi politik (balas budi), serta kepentingan partai penguasa yang lebih besar dibandingkan kemaslahatan rakyat.

Inilah sistem kapitalis, segala sesuatu akan cepat berubah tergantung kepentingan dan manfaat yang akan didapatkan. Sebab keduanya adalah asasnya. Sedangkan urusan rakyat bukanlah prioritas utama penguasa untuk me-riayah

Akomodasi politik secara fakta pun tak dapat dihindarkan, bukan rahasia jika sistem ini menggunakan politik kepentingan dan manfaat sebagai kendaraan menuju keuntungan yang ingin diraih demi kepentingan diri sendiri maupun golongannya. Ciri khas sistem kapitalis adalah asas manfaat dan saling menguntungkan.

Ini akan berbeda halnya jika dalam sistem Islam. khalifah mempunyai pembantu atau Mu’awin at-Tafwidh (Wuzara’ at-Tafwidh) yang bertugas membantunya dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab kekhalifahan. Mu’awin at-Tafwidz atau wazir ditunjuk khalifah dan diangkat oleh khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan.

Khalifah mendelegasikan kepadanya pengaturan berbagai urusan menurut pendapatnya dan melasanakannya berdasarkan ijtihadnya berdasarkan ketentuan syariah. Dengan demikian, khalifah telah memberinya wewenang secara umum dan posisi untuk mewakili khalifah.

Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah Saw., “Dua orang pembantuku dari langit adalah Jibril dan Mikail dan dari bumi adalah Abu Bakar dan Umar” (HR. al-Hakim dan at-Tirmidzi). Dari hadits ini pun menjelaskan kebolehan mu’awin lebih dari satu orang.

Syarat menjadi mu’awin sama dengan syarat memjadi seorang khalifah yaitu ia harus seorang laki-laki, merdeka, balig, berakal, mampu, dan termasuk diantara orang yang memiliki kemampuan dalam semua tugas yang diwakilkan kepadanya.

Tugas seorang mu’awin menyampaikan kepada khalifah pengaturan urusan pemerintahan yang telah direncanakannya, kemudian melaporkannya kepada khalifah berbagai pengaturan pemerintahan yang telah ia jalankan.

Seorang mu’awin tidak dikhususkan untuk menangani suatu departemen tertentu, misalkan departemen pendidikan karena yang melaksanakan urusan-urusan administrasi adalah para pegawai bukan pejabat pemerintah (penguasa).

Mu’awin diangkat dan diberhentikan dengan perintah khalifah. Pada saat khalifah meninggal dunia maka masa jabatan mu’awin pun secara otomatis berakhir, tugas-tugasnya tidak berlanjut kecuali selama masa amir sementara saja. Namun, mu’awin bisa berlanjut jika ada pengangkatan dirinya oleh khalifah yang baru.

Itulah tugas seorang mu’awin dan pemecatannya dalam sistem Islam, mu’awin pun bisa mengingatkan jika seorang khalifah berbuat kesalahan dalam mengambil keputusan yang tidak sesuai syariah, yang menyangkut riayah umat. Begitupun sebaliknya seorang khalifah meluruskan dan mengingatkan jika mu’awin berbuat kesalahan yang tidak sesuai syariah ( Struktur Negara Khilafah, Taqiyuddin An-Nabhani, hal. 89-103).

Adanya tujuan yang sama antara seorang khalifah dan para mu’awin-nya dalam meriayah umat yaitu, demi menggapai rida-Nya menuju surga-Nya. Serta rasa takut akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Menjadikan asas halal-haram selalu menjadi pijakan dalam setiap keputusan khalifah dan para mu’awin-nya.

Tentu ini semua tak akan didapatkan dalam sistem demokrasi (kapitalis-sekular), sistem yang hanya akan melahirkan penguasa dan pejabat yang hanya mementingkan diri pribadi dan golongannya. Sejatinya berganti menteri sampai beberapa kali pun tetap saja tak akan merubah bangsa dan negeri ini menuju perubahan yang hakiki, selama sistem rusak ini masih dipertahankan.

Hanya dengan menerapkan sistem Islam yaitu khilafah dan mencampakan sistem demokrasi (kapitalis-sekular), bangsa dan negeri ini akan merasakan perubahan yang hakiki yang didambakan oleh seluruh rakyat. Tak ada akomodasi politik, bagi-bagi kekuasaan, mementingkan diri dan golongannya.

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis