Menakar Efektivitas Pelarangan Mudik, untuk Mencegah Covid
Oleh : Novita Darmawan Dewi
(Pegiat Komunitas Ibu Ideologis (‘Tas Bude’))
Lensa Media News – Jalur keluar masuk di Kabupaten Bandung akan dijaga Polisi selama 24 jam ketika memasuki momen Lebaran 2021. Tak hanya jalur utama, jalan tikus yang kerap digunakan oleh pemudik pun turut dijaga ketat.
Kapolresta Bandung Kombes Pol Hendra Kurniawan menyatakan, sebanyak 8 pos penyekatan utama telah didirikan di wilayah Kabupaten Bandung. Hal ini didirikan sebagai respons terhadap keputusan pemerintah menetapkan larangan mudik Ramadan 2021.
Selain 8 pos penyekatan yang didirikan di jalur-jalur utama arus lalu lintas, Hendra mengungkapkan jalan tikus juga akan dijaga secara ketat selama 24 jam. Namun, ia tak merincikan jalan tikus mana saja yang akan dijaga ketat.
Tahun lalu, meskipun mudik dilarang, masyarakat tetap pulang ke kampung halaman, dengan anggapan yang dilarang “mudik”, bukan “pulang kampung”. Tahun ini, pemerintah kembali melarang mudik lebaran dengan alasan yang sama seperti tahun sebelumnya, yaitu mencegah naiknya angka positif Covid-19.
Dari apa yang terlihat, dampaknya tidak akan jauh berbeda dari keputusan pelarangan mudik tahun sebelumnya. Larangan mudik terkesan sebagai kebijakan basa-basi dengan dalih menurunkan angka pandemi.
Mengapa dikatakan kebijakan basa-basi? Karena keputusan tersebut tidak diputuskan dengan cermat dan penuh antisipasi. Mestinya, sejak awal pemerintah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi jelang lebaran selama pandemi.
Seharusnya hal yang demikian menjadi catatan penting atas kebijakan pelarangan mudik tahun lalu. Setelah melakukan evaluasi, pemerintah memperhatikan apa saja yang harus diperbaiki dan mekanisme apa yang harus ditempuh agar angka penularan menurun dan tidak mengganggu ekonomi rakyat.
Sehingga, tidak ada pihak mana pun yang menderita kerugian atas kebijakan yang diputuskan. Jika kebijakan yang diputuskan asal jadi tanpa antisipasi, lalu tak memberikan rakyat bantuan sosial atau subsidi karena pelarangan mudik selama pandemi, yang terjadi justru rakyat akan terkapar.
Sejatinya orang mudik selain untuk bersilaturahmi juga dalam rangka mendistribusikan hasil kerja keras mereka sebagai tulang punggung keluarga, juga membuka peluang mengais rezeki dengan memanfaatkan banyaknya orang berkumpul di kampung halaman dengan berjualan.
Alhasil, publik masih mewanti-wanti, khawatir dengan kebijakan pelarangan mudik berujung pada kesulitan hidup. Tak ada jaminan setiap keputusan yang dikeluarkan dalam sistem kapitalis berakhir indah. Oleh sebab itu, publik butuh kebijakan yang utuh, bukan basa-basi menuntaskan pandemi.
Kebijakan Utuh Tuntaskan Pandemi Hanya dalam Sistem Islam
Sungguh berat mengampu amanah sebagai pemimpin atau kepala negara, karena bukan perkara mudah memutuskan suatu perkara menyangkut hajat hidup masyarakat. Pemimpin harus bertanggung jawab melayani rakyat agar bisa hidup layak sebagai manusia bermartabat.
Ia juga menjamin rakyat mendapatkan hak-haknya yaitu dengan terpenuhinya sandang, pangan, dan papan, terpenuhinya pendidikan, kesehatan, juga keamanan yang gratis serta berkualitas, serta mengharuskannya memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
Khalifah Umar ra. pernah mengatakan, “Sayyidul qaumi khadimuhun” (pemimpin kaum di antaranya diukur dari mutu pelayanannya). Bukan “khadi’uhum” (pandai menipu mereka).
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar ra., beliau mengangkat Amr Bin Ash sebagai gubernur untuk menuntaskan masalah wabah tha’un. Kala itu, Amr menyerukan kepada seluruh penduduk untuk mengisolasi dirinya masing-masing.
Amr berkhotbah di depan rakyatnya dan memerintahkan agar pergi jauh hingga rakyatnya memencar ke berbagai penjuru. Di antara mereka ada yang pergi ke gunung, bukit, dan ke daerah-daerah terpencil.
Amr bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari kebijakan yang diberlakukannya. Ketakwaan dan keimanan pemimpin berpengaruh pada cepat atau lambatnya pertolongan Allah Swt. Rakyat mudah memahami tujuan kebijakan yang diputuskan Amr, hingga wabah berakhir tanpa membutuhkan waktu yang lama.
Jika kita menelusuri sejarah Islam, kita dapati sosok Umar bin Khaththab yang memiliki bobot keputusan yang bagus untuk diteladani. Umar memilih orang-orang terbaik untuk membangun suatu daerah yang dipimpinnya agar tidak rusak. Itu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi suatu negara.
Sayangnya hari ini selama masih dipimpin oleh pemimpin yang menerapkan sistem kapitalisme sekular, masih mementingkan urusan perut para kapitalis daripada urusan perut rakyatnya, masih bekerja sama dengan asing atau aseng mengelola kekayaan sumber daya alam (SDA), mustahil rakyat mendapatkan kebijakan yang sepenuh hati bisa menuntaskan pandemi.
Sehingga, sebagai muslim, kita dituntun Islam untuk berhukum dengan aturan-Nya secara kafah. Satu-satunya cara agar bisa menjalankan Islam kafah hanya dengan tegaknya Khilafah.
Wallahu’alam.
[lm/LN]