Membungkam Mulut Kotor Sang Penista
Oleh: Sri Gita Wahyuti A. Md
(Aktivis Pergerakan Muslimah)
Lensa Media News – Baru-baru ini, terulang kembali penistaan terhadap agama Islam berupa penghinaan terhadap Allah SWT, Rasulullah SAW., Al-Quran dan ajaran Islam. Seorang Youtuber bernama Joseph Paul Zhang. Selain mengaku sebagai nabi ke-26, ia pun menghina Allah SWT dan menghina Nabi Muhammad SAW melalui akun YouTube miliknya yang diunggah dalam sebuah forum diskusi Zoom berdurasi kurang lebih tiga jam dua puluh menit. Unggahan tersebut diberi judul ‘Puasa Lalim Islam’.
Dalam diskusi tersebut, ia menyampaikan bahwa selama ini kaum muslimin telah dibodoh-bodohi oleh ulamanya sendiri. Ia juga menantang untuk dilaporkan ke pihak kepolisian dan akan memberi imbalan sebesar satu juta bagi yang bisa melaporkannya dengan tuduhan penistaan agama.
Penistaan terhadap Islam sudah berulang kali terjadi. Sebelumnya dilakukan oleh Ahok hingga ia meringkuk di dalam penjara. Berikutnya dilakukan oleh Sukmawati. Di dalam puisinya, Ia menyatakan bahwa konde lebih indah dari cadar, suara kidung ibu Indonesia lebih indah dari suara azan. Belum lagi peristiwa penyobekan dan pembuangan lembaran Al-Quran di jalanan Medan, penghinaan terhadap perempuan bercadar di akun Facebook, juga pelemparan Al-Quran di Makassar dan masih banyak penghinaan lainnya.
Terjadinya penodaan agama yang berulang dan terus-menerus di negeri yang notabene berpenduduk mayoritas muslim, tentu membuat kita merasa sangat miris. Ini menunjukkan bahwa negara gagal menjamin dan melindungi agama. Undang-undang tentang penodaan Agama tidak cukup efektif untuk menghentikannya. Banyak kita saksikan pelaku penodaan bebas dari jeratan hukum cukup dengan permintaan maaf saja.
Sistem demokras-kapitalis seperti yang dianut di negeri ini, memang melahirkan liberalisme dan kebebasan, sehingga wajar apabila kasus penodaan agama terus berulang. Atas nama Hak Asasi Manusia, seseorang bebas bertindak apa saja sesuai kehendaknya tanpa memperhatikan apakah perbuatannya membuat orang lain terganggu atau tidak.
Liberalisme dalam sistem demokrasi-kapitalis mengajarkan empat kebebasan yakni: kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan, dan berperilaku. Keberadaannya telah menjadi biang keladi kemunculan berbagai perilaku menyimpang. Kebebasan berpendapat melahirkan orang-orang yang berani menghina dan menghujat ajaran Islam yang sudah pasti kebenarannya.
Penerapan paham sekularisme di negeri ini juga turut andil memicu munculnya para penista agama. Sekularisme tidak menempatkan Islam sebagai sumber aturan, bahkan menafikan keberadaan agama dalam kehidupan. Dari rahimnyalah lahir para penista agama.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan Islam yang memandang akidah dan syariat Islam adalah perkara penting yang harus tetap ada di tengah masyarakat. Islam tidak akan membiarkan pemikiran yang bertentangan dengan Islam berkembang. Setiap orang boleh menyampaikan pendapatnya, tetapi tidak boleh bertentangan dengan akidah dan syariat Islam.
Dalam Islam, negara tidak akan memberikan toleransi atas berkembangnya pemikiran, pendapat, paham, aliran atau sistem hukum yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Negara juga tidak akan memberikan toleransi atas perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Maka jelaslah bahwa penerapan sistem demokrasi-kapitalis menjadi sebab mengapa kasus penistaan agama masih ada dan terus berulang. Juga karena negara tidak memiliki kekuatan dalam memberikan sanksi kepada pelaku. Jika Islam diterapkan secara menyeluruh, maka tidak akan ada lagi kasus penistaan terhadap agama. Penerapan Islam secara kaffah akan mampu membungkam mulut-mulut kotor sang penista. Hingga di kemudian hari tidak akan muncul lagi para penista baru.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita tinggalkan sistem demokrasi-kapitalis yang hanya akan membawa malapetaka dan kesengsaraan bagi umat dan sudah saatnya bagi kita untuk menerapkan hukum Allah dan Rasul-Nya secara kaffah.
Wallahua’lam bishshawwab.
[iui/LM]