Kartini dan Semangat Perjuangan Muslimah
Oleh: Ika Misfat Isdiana
Lensa Media News – Sosok Kartini sangat lekat dengan penampilannya yang berkonde serta memakai kebaya. Semangatnya untuk memperjuangkan keadilan dan hak mendapatkan pendidikan mendapatkan hati rakyat Indonesia. Tak pelak jika namanya harum sebagai wanita pejuang.
Namun, ada upaya untuk menjauhkan sosok Kartini dari Islam. Walau tak diragukan lagi jika Kartini adalah seorang muslimah. Tentu fakta ini membuat miris. Karena secara historis, Islam sangat berperan dalam menguatkan tekad perjuangan Kartini.
Kartini Menolak Westernisasi dan Emansipasi
J.H. Abendanon adalah tokoh Belanda yang dikenal sebagai sahabat pena Kartini. Hal itu tidak aneh mengingat pergaulan ibu Kartini yang luas. Mengenal tokoh Belanda adalah hal yang wajar. Apalagi J.H. Abendanon adalah pendukung politik etis (politik balas budi), yaitu politik yang menuntut pemerintahan Belanda memberikan balasan budi terhadap Indonesia sebagai negeri jajahan.
Hal ini direalisasikan dalam 3 hal, yakni irigasi, transmigrasi dan pendidikan. Namun, hal tersebut hanya pencitraan. Karena irigasi dan transmigrasi hanya diterapkan untuk kepentingan warga Belanda. Pendidikan saja yang sedikit bermanfaat bagi rakyat Indonesia.
J.H. Abendanon adalah kalangan pendukung politik etis yang merasa prihatin terhadap bumiputera yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut (hak pendidikan yang merata), mereka berusaha menyadarkan kaum bumiputera agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya. Pemahaman swastanisasi dan emansipasi sangat kuat mendominasi pemikiran J.H. Abendanon. Sehingga wajar jika ibu kita Kartini digambarkan sebagai muslimah yang tak berhijab.
Sosok Kartini adalah sosok yang berani menyampaikan kritik, apalagi jika bertentangan dengan prinsip hidupnya. Kartini dengan tegas menolak upaya westernisasi dan emansipasi yang beliau pahami betul bahayanya. Seperti yang terbaca dari surat-surat di tahun terakhirnya. Sebagaimana surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”
Inspirasi Perjuangan Kartini
Memisahkan semangat juang Kartini dengan Islam adalah hal yang historis. Mengingat secara fakta Kartini adalah seorang muslimah. Seorang muslim dididik untuk peduli terhadap segala hal yang bertentangan dengan Islam, termasuk penjajahan.
Surat-surat kartini juga bisa dijadikan bukti otentik yang tak terbantahkan. Tentu dengan membacanya secara keseluruhan dan merunutnya dari awal hingga akhir hayat Kartini. Berikut adalah cuplikan surat Kartini di tahun terakhir sebelum beliau meninggal dunia.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini menuliskan: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai.”
Sementara terdapat juga surat kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902: “Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”.
Surat lain kepada Ny Abendanon bertanggal 27 Oktober 1902. “Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”
Surat-surat tersebut sudah cukup untuk menginspirasi para muslimah. Agar mengikuti jejak Kartini sebagai muslimah pejuang. Bukan dengan westernisasi atau emansipasi. Tapi dengan spirit Islam.
[iui/LM]