Penegakan Keadilan dalam Sistem Peradilan Islam (Part 2)
Oleh : Reski Prastika, Amd., B.A., S.H.
Tsaqofah – Penciptaan Berbagai Sarana yang Menjamin Keadilan Hakim
Hakim atau penegak keadilan terhitung sebagai tugas yang paling penting dalam sebuah pemerintahan. Ia menempati peringkat yang paling tinggi dalam Islam, dan fungsinya adalah memutuskan perselisihan di antara para manusia dengan hukum-hukum syar’i yang diperoleh dari Alquran dan As-Sunnah.
As-Sunnah An-Nabawiyyah telah memperingatkan pentingnya penerapan hukum Allah dalam berbagai permasalahan. Tidak ada perbedaan antara yang kecil dan besar, serta antara pemerintah dan yang diperintah. Dari sini Islam memberi pengajaran dalam penegakan keadilan tentang pentingnya rasa pengawasan Allah dalam setiap perbuatan dan perkataan. Hal itu karena menjauh dari kebenaran dalam memutuskan hukum-hukum pengadilan merupakan kriminalisasi terhadap hak kedua belah pihak yang bertikai. Selain itu juga menjauh dari jalan yang lurus.
Oleh sebab itu, Islam melarang kepada siapa saja yang memegang jabatan hakim untuk jauh dari kebenaran. Rasulullah SAW bersabda, “Hakim itu ada tiga, dua hakim berada di neraka dan satu hakim berada di surga. Pertama, hakim yang memberi keputusan dengan tidak benar sementara ia mengetahui hal itu, maka ia berada di neraka. Kedua, hakim yang tidak tahu kemudian ia memutuskan hukum dengan ketidaktahuannya sehingga menghancurkan hak orang lain, maka ia berada di neraka. Dan ketiga, hakim yang tahu dan memutuskan hukum secara benar dengan ilmunya, maka ia berada di surga.”
Dalam memandang perselisihan, seorang hakim haruslah bersikap adil terhadap kedua belah pihak yang berselisih. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada Ali, “Jika ada dua orang meminta keputusan kepadamu, maka janganlah engkau memberi keputusan kepada yang pertama sampai kamu mendengarkan pembicaraan yang lain, jika sudah mendengarkan niscaya kamu akan mengetahui bagaimana kamu akan memutuskan.”
Seorang hakim juga diharuskan tidak memberikan keputusan pada saat ia sedang dalam keadaan marah, hal itu sesuai dengan sabda Rasullulah SAW, “Janganlah seorang hakim itu memberikan keputusan di antara dua orang sementara ia dalam keadaan marah.”
Seorang hakim pun memiliki hak berijtihad untuk memecahkan dan memutuskan suatu perkara. Amr bin Al-Ash pernah mendengar Rasullulah SAW bersabda, “Ketika seorang hakim dalam memberi keputusan hukum ia berijtihad dan benar, maka baginya adalah dua pahala. Dan ketika ia berijtihad kemudian salah, maka baginya adalah satu pahala.”
Dua pahala di sini maksudnya adalah pahala berijtihad dalam mencari kebenaran dan pahala pencapaian pada kebenaran dan mengetahuinya. Adapun jika ia salah, maka baginya adalah satu pahala, yaitu ijtihad dalam berusaha untuk mencapai pada kebenaran. Ia tidak mendapat dosa ketika ia salah selama niatnya adalah mencari kebenaran, dan itu jika ia termasuk ahli ijtihad yang memiliki sarana-sarananya.
Pemberian keputusan dalam perselisihan di antara orang-orang yang bertikai, terkadang membutuhkan pengamatan terhadap hal yang diperselisihkan, dan itu kembali kepada kemampuan analisa sang hakim. Terkadang ia memberikan pendapat sendirian dan memberikan keputusan sesuai dengan yang ia lihat dari hasil penguakan.
Dan seorang hakim juga mempunyai hak untuk meminta petunjuk pada saat ia membutuhkan. Imam Ali pernah memberikan keputusan dalam permasalahan yang cukup aneh. Pada saat terlihat bukti-bukti baru dan juga muncul beberapa pengakuan yang mengubah alur permasalahan, Ia meminta petunjuk putranya yakni Al-Hasan.
Permasalahan yang aneh tersebut diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Al-Qoyyim di dalam kitabnya yang berjudul Ath-Thuruq Al-Hukumiyyah. Ia bercerita bahwasanya suatu hari seorang lelaki diajukan kepada Ali bin Abi Thalib -yang saat itu menjabat sebagai khalifah- lelaki tersebut ditemukan di sebuah reruntuhan dan pada tangannya terdapat sebuah pisau yang belepotan darah dan di hadapannya terdapat korban yang tengah berlumuran darah.
Singkat cerita, lelaki tersebut mengakui bahwa dia telah membunuh korban. Tak ayal Ali pun menjatuhkan hukuman. Akan tetapi sesaat sebelum pelaksanaan hukuman seorang lelaki muncul dan mengakui bahwa dialah pelaku pembunuhan sebenarnya.
Setelah itu Ali bertanya kepada lelaki pertama mengapa ia mengakui perbuatan yang tidak diperbuatnya. Lelaki tersebut menjawab bahwa tidak ada yang bisa diperbuatnya saat patroli keliling mendapati seorang yang tengah berlumuran darah sedang ia berada di situ memegang pisau yang terdapat bekas darah.
Kemudian ia menceritakan kronologi sebenarnya, bahwa ia adalah seorang pemotong hewan yang telah momotong sapi dan mengulitinya. Sesaat setelahnya ia pergi buang hajat ke tempat kejadian perkara dan mendapati korban telah berlumuran darah, lalu datanglah patroli keliling. Setelah itu orang-orang berkata orang ini telah membunuh orang ini, tidak pembunuh lain selain dirinya. Tak ada saksi maupun bukti yang dapat meringankannya. Sehingga ia akui perbuatan tersebut dan menyerahkan nasibnya hanya kepada Allah.
Kemudian Ali bertanya kepada lelaki kedua yang mengaku, “Bagaimana dengan kisahmu?” Orang itu menjawab, “Aku diperdaya oleh iblis sehingga aku membunuh seseorang karena ingin memiliki hartanya. Aku mendengar suara patroli kemudian keluar dari reruntuhan, dan seketika itu aku menjumpai si pemotong hewan tesebut. Aku bersembunyi darinya di balik reruntuhan sampai patroli datang. Mereka menangkap si pemotong hewan kemudian membawanya kehadapan Anda. Pada saat Anda memerintahkan untuk menghukumnya, aku sadar bahwa aku juga akan membuat dirinya celaka, sehingga aku mengakui sebuah kebenaran.”
Lalu Ali bertanya kepada Al-Hasan, “Bagaimana hukum mengenai hal ini?” Al-Hasan menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, meskipun ia telah membunuh satu jiwa, namun ia telah menyelamatkan jiwa yang lainnya. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Maidah: 32).
Setelah itu Ali membebaskan keduanya dan mengeluarkan uang denda korban pembunuhan dari Baitul Mal.
Kasus seperti di atas hanya akan ditemukan di tengah-tengah masyarakat Islam, yaitu suatu kumpulan individu yang mempunyai pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama yaitu ideologi Islam. Individu-individu yang tergabung dalam kumpulan masyarakat tersebut menyadari betul bahwa segala tindak-tanduk yang dilakukan manusia di dunia ini kelak akan dipertanggungjawabkan.
(Disadur dari: Sumbangan Perdaban Islam pada Dunia, Karya Prof. Dr. Raghib As-Sirjani)
[ah/LM]