THR Mandek: Bukti Kapitalisme Hanya Mengeksploitasi

Oleh: Atik Hermawati

 

Lensa Media News – Tunjangan Hari Raya (THR) dinanti pekerja sesuai yang dijanjikan. Berharap perusahaan menjalankan kewajiban menyambut gembiranya lebaran. Namun sayang sejuta sayang, lagi-lagi THR dicicil bahkan tak ditunaikan.

Kementerian Tenaga Kerja membuka opsi aturan untuk memperbolehkan perusahaan menyicil atau menunda pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Kebijakan tersebut pernah dikeluarkan pada 2020 lalu. Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto, menyatakan banyak perusahaan memilih opsi tersebut. Menurutnya, kondisi saat ini sudah berbeda dari tahun lalu, dimana perusahaan sudah beroperasi normal seperti biasa. Hingga federasinya menolak opsi yang dilontarkan pemerintah kepada perusahaan itu (cnnindonesia.com, 21/03/2021).

Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah mengatakan bahwa skema THR tahun ini berdasarkan perundingan dari berbagai stakeholder. THR boleh dicicil atau ditunda, sesuai perundingan pihak-pihak tersebut. (cnbcindonesia.com, 26/03/2021).

 

Kebijakan Hanya Menguntungkan Pengusaha

Masalah buruh di negeri ini tak ada habisnya. Kini, pandemi Covid-19 lagi-lagi menjadi alasan para kapital meminta keringanan tanpa memperhatikan nasib para buruh. Padahal, perusahaan sudah beroperasi normal. UU Ciptaker dan lainnya, ditambah THR yang dicicil atau ditunda, menambah lagi kesengsaraan kaum pekerja.

Sistem kapitalis memposisikan buruh sebagai roda utama sektor produksi. Stratifikasi sosial begitu kentara hingga eksploitasi tak manusiawi dengan upah tak seberapa. Sebab, tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Bukan kelayakan atas besarnya tenaga atau jasa yang dikerahkan.

Sedangkan para pemilik modal (kapital) didukung penuh negara dengan berbagai regulasi yang hanya menguntungkannya. Seperti UU Cipta Kerja, PP No 34 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), PP No 35 mengenai PKWT, alih daya dan PHK, PP No 36 mengenai pengupahan, PP No 37 mengenai JKP, serta Peraturan Menteri (Permen) No 2 Tahun 2021 mengenai pengupahan untuk industri padat karya yang memperbolehkan perusahaan untuk membayar upah buruh di bawah upah minimum.

 

Islam Menuntaskan Permasalahan Buruh

Sistem Islam meniscayakan pemecahan problematika manusia dengan memperhatikan predikatnya sebagai manusia. Sistem sosial, ekonomi, kepemilikan, dan lainnya berkesinambungan demi terwujudnya kesejahteraan yang ril.

Pemilikan harta diatur dalam kepemilikan individu, umum, dan negara. Tidak ada kebebasan kepemilikan yang menyebabkan SDA atau kepemilikan umum diswastanisasi para korporasi. Sehingga perusahaan-perusahaan yang berdiri jelas bergerak dalam bidang yang boleh dikelolanya sesuai syariat.

Dalam masalah THR ini, negara akan melakukan pendataan terhadap perusahaan yang mampu maupun yang belum mampu memberi THR. Akad dijelaskan dari awal antara pengusaha dan pekerja agar rida kedua belah pihak.

Akad ijarah atau penggajian antara pekerja dan pengusaha diatur syariat dimana pengusaha menggaji dengan layak sesuai manfaat atas jasa/tenaga yang dikerahkan. Bukan living cost terendah. Tidak ada stratifikasi sosial dan eksploitasi. Pakar upah (khubara’) akan menjadi pihak penengah jika terjadi sengketa pengusaha dan pekerja terkait upah.

Semua kebijakan yang ditetapkan, adil terhadap keduanya. Memandang mereka sebagai masyarakat yang harus ditunaikan haknya. Itulah saat sistem Islam diterapkan total negara. Dalam bingkai Khilafah sesuai manhaj Nabi Saw. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Mi]

Please follow and like us:

Tentang Penulis