Liberalisasi Akidah Kian Nyata
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Liberalisasi agama kian gencar dilakukan. Kali ini instruksi dikeluarkan oleh Menag yang beragama Islam. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta setiap acara yang berlangsung di Kementerian Agama turut memberikan kesempatan kepada agama lain dalam mengisi doa, dan tidak hanya doa untuk agama Islam saja (m.antaranews.com, 05/04/2021).
Lebih lanjut, Cholil menginginkan Kemenag menjadi rumah bagi seluruh agama yang ada di Indonesia, melayani dan memberikan kesempatan yang sama. Bahkan ia menyebut pembacaan doa untuk agama tertentu saja, tak ubahnya seperti acara organisasi kemasyarakatan.
Sontak hal ini menuai kontroversi. Instruksi doa seluruh agama yang dikeluarkan oleh Menag beragama Islam sangat disayangkan oleh kaum muslim. Menjadi rumah bagi agama lain tidak perlu dengan pencampuran agama (sinkretisme), baik dalam salam maupun doa lintas agama. Hal ini sama sekali tidak mencerminkan syariat Islam. Toleransi itu seharusnya menghormati, bukan ikut-ikutan melaksanakan.
Pengamat Sosial, Ekonomi, dan Keagamaan Anwar Abbas ikut angkat bicara. Beliau melayangkan kritik rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang meminta jajarannya di Kementerian Agama memberikan kesempatan doa versi agama selain Islam dibacakan dalam kegiatan internal (cnnindonesia.com, 06/04/2021).
Anwar menilai implementasi dari kaidah-kaidah toleransi di Indonesia tak harus seperti yang dianjurkan oleh menteri agama. Sudah sepatutnya melihat sesuatu berdasarkan pada tempatnya. Anwar mencontohkan bahwa daerah dan tempat yang mayoritas orang Islam tak dipersoalkan berdoa menurut agama Islam.
Sebaliknya, Anwar menilai daerah-daerah dengan mayoritas agama selain Islam tak masalah bila berdoa dipimpin oleh tokoh dan cara agama non-Islam. Persatuan dan kesatuan tidak harus diwujudkan dengan menampilkan atau mensinkretikan (memadukan) ajaran agama-agama yang ada. Bahkan Anwar menegaskan, bahwa persatuan serta kesatuan sebagai bangsa tidak akan terusik dengan perbedaan di antara sesama anak bangsa.
Bukankah ‘Bhineka Tunggal Ika’ masih semboyan negara kita? Berbeda namun tetap satu jua. Perbedaan inilah yang memperkaya budaya Indonesia. Namun jika keberagaman ini dipaksakan harus senada bukankah mengurangi esensi keberagaman itu sendiri? Lantas untuk apa semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ digembar-gemborkan jika praktiknya mulai ditiadakan.
Anehnya, syariat Islam yang jelas melarang adanya sinkretisme justru dipaksa harus membaur dengan agama lain. Hal ini sebagai bagian dari upaya moderasi agama yang ditargetkan pada tahun 2022. Harusnya masyarakat menyadari bahwa dalam sistem sekuler tak akan memberi ruang bagi penerapan syariat Islam secara sempurna.
Justru upaya keterikatan terhadap syariat akan dihalangi dengan berbagai alasan. Bagaimanapun nilai-nilai sekularisme tak pernah sejalan dengan Islam. Justru keduanya bertolak belakang. Bahkan moderasi beragama tak lepas dari upaya untuk menekan kebangkitan Islam. Agenda yang telah dicanangkan oleh Barat sejak tahun 2001.
Senada dengan upaya menekan kebangkitan Islam, upaya liberalisasi akidah semakin gencar dijalankan. Geliat geraknya teroganisir karena telah diadopsi sebagai kebijakan negara. Sasarannya sudah mencapai pada desa-desa dengan cara terang-terangan pula. Mengajak masyarakat untuk mempraktikkan sinkretisme, termasuk pelanggaran syariat Islam lainnya.
Praktik sinkretisme haram dalam Islam, apapun alasannya. Islam telah menarik batas yang jelas dalam perkara akidah. Islam pun tidak membenarkan pluralisme. Karena dalam nash qathi hanya Islamlah agama yang benar. Meski begitu tidak pernah ada paksaan untuk masuk Islam.
Tanpa adanya sinkretisme, negara Islam pernah membuktikan bahwa persatuan bukanlah perkara utopis. Khilafah pernah menyatukan berbagai negeri, bangsa, ras, bahasa maupun agama hingga berabad-abad lamanya. Sepatutnya hal inilah yang dijadikan sebagai acuan karena telah terbukti membawa perdamaian bagi seluruh alam.
Wallahu’alam bishshawab.
[ry/LM]