Berhenti Mengkambinghitamkan Hujan!
Oleh: Kunthi Mandasari
Pegiat Literasi
Hujan merupakan rahmat dari yang Maha Kuasa. Keberadaan hujan memiliki peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan makhluk hidup. Dengan adanya hujan keberadaan pasokan air akan senantiasa terjaga. Bahkan ketika hujan tak kunjung datang banyak orang yang mengharapkannya.
Namun kala hujan menyapa dan banjir ada dimana-mana, hujan kerap kali dijadikan kambing hitam. Setiap banjir datang selalu hujan yang disalahkan. Curah hujan yang tinggi dianggap sebagai pemicu terjadinya banjir dan sejumlah bencana lainnya.
Seharusnya jika kondisi bumi dalam keadaan baik-baik saja banjir tidak akan datang apalagi sampai berulang. Keberadaan banjir menjadi indikasi adanya kesalahan fatal dalam memperlakukan lingkungan. Seperti banjir yang beberapa waktu ini menimpa tiga belas kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan.
Seperti dilansir dari Gelora.co, 19/01/2021, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengungkap penyebab banjir Kalsel atau Kalimantan Selatan karena 139 ribu hektar hutan berkurang dalam kurun waktu 10 tahun.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mencatat 50% dari lahan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batu bara dan perkebunan sawit. “Tambang 33%, sawit 17%,” ujar Kisworo kepada BBC News Indonesia. Hal ini menyebabkan banjir terparah yang pernah terjadi di Kalimantan Selatan.
Kisworo pun telah mendesak pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh izin-izin yang dikeluarkan. Sebab ia meyakini “alih fungsi lahan tersebut menyebabkan degradasi hutan”. Bila perlu Jika dalam audit ada operasi tambang maupun perusahaan sawit yang dianggap memicu bencana, maka ia berharap pemerintah berani mencabut izin tersebut.
Namun mungkinkah hal ini terjadi? Mengingat UU Ciptaker yang mempermudah izin eksploitasi saja justru disahkan. Padahal masyarakat telah menolaknya secara tegas, tetapi keputusan tidak berubah. Pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi memang akan sulit bertindak tegas pada korporasi. Mengingat pencalonan dalam sistem demokrasi berbiaya tinggi.
Dari sinilah swasta memiliki peluang untuk mendukung pencalonan. Namun perlu diingat, bahwa tidak ada yang namanya makan siang gratis. Setiap uang yang dikeluarkan harus membawa keuntungan. Salah satunya melalui kebijakan yang akan mempermudah aktivitas usahanya.
Perselingkuhan penguasa demokrasi dengan pengusaha inilah yang melahirkan korporatokrasi. Birokrasi yang memiliki cita rasa korporasi. Yaitu pelayanan yang mengutamakan keuntungan. Asas semacam ini tidak sepatutnya diadopsi oleh sebuah negara. Karena negara seharusnya berfungsi sebagai pelayan masyarakat.
Sehingga perizinan pengelolaan kekayaan alam tidak akan mudah dikeluarkan, bahkan tidak diberi ruang sama sekali. Mengingat dalam UUD 1945 telah mengamanatkan pengelolaan kekayaan alam hanya untuk kesejahteraan masyarakat. Sayangnya dalam sistem demokrasi aturan bisa saja diubah sekehendak mereka yang memiliki kuasa. Karena tidak ada aturan baku yang bisa dijadikan tolok ukurnya. Alhasil berbagai aturan yang lahir justru memihak pada mereka yang memiliki uang.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam Islam pemimpin merupakan penanggung jawab masyarakat.
Rasulullah saw bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Siapa pun yang menjadi pemimpin akan memperhatikan kepemimpinannya. Pemimpin dalam Islam meyakini bahwa setiap amanah yang diemban kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Maka sangat wajar jika para khalifah akan senantiasa berhati-hati dalam menunaikan amanahnya.
Selain itu ada perbedaan mendasar terkait aturan dalam sistem demokrasi dan sistem Islam. Jika dalam sistem demokrasi aturan bersumber dari pemikiran manusia yang memiliki keterbatasan, maka dalam Islam sumber hukum berasal dari Allah Swt. Selaku pencipta alam semesta. Dengan demikian tolok ukur yang digunakan akan sama, yakni mencakup perkara halal dan haram.
Adapun dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) akan dikembalikan pada syariat Islam. Menurut aturan Islam SDA termasuk dalam kategori kepemilikan umum.
Dari Ibnu Abbas RA sebenarnya Nabi saw bersabda; “Orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah)
Segala sesuatu yang menjadi milik umum hukumnya haram apabila dalam pengelolaannya diberikan pada swasta. Pengelolaan SDA akan dilakukan oleh negara dan hasilnya didistribusikan kepada masyarakat.
Dengan begitu SDA tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang, tetapi bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Selain itu pengelolaan SDA dengan bersandar syariat terbukti lebih ramah lingkungan karena terbebas dari keserakahan. Wallahu a’lam bishshawab. (RA/LM)