Tidak lama lagi pesta perhelatan akbar Pilkada akan segera dimulai serempak akhir tahun 2020 ini. Namun, Pilkada kali ini berbeda karena akan dilangsungkan di tengah pandemi Covid-19 ini yang entah kapan akan berakhir. Terlebih hingga saat ini jumlah warga yang terpapar terus meningkat. Namun pemerintah tetap ngotot akan menyelenggarakan pilkada tersebut. Diketahui KPU mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun, DKPP sebesar Rp 39 miliar, dan Bawaslu sebesar Rp 478 miliar. Hal itu bukan jumlah yang sedikit, mengingat beban utang negeri ini juga terus meningkat.

Belum lagi berbagai jargon, visi dan janji manis kampanye yang diucapkan harus ditelan sebagai pil pahit bagi rakyat karena banyak janji-janji yang tidak terealisasi. Hal ini tidak lepas pula dari kualitas dan integritas calon pemimpin yang tak jarang hanya mengejar jabatan saja. Sistem yang diterapkan hari ini lebih mementingkan para pengusaha dibandingkan kepentingan rakyatnya. Bagai simbiosis mutualisme antara berbagai kepentingan, dimana penguasa mendapatkan modal dari para pengusaha agar dapat berkuasa. Setelah sukses maka para cukong mendapat keleluasaan dan kemudahan dalam berbagai proyeknya dari penguasa. Begitu mekanisme transaksi politik yang terjadi dalam Demokrasi. Maka akan melahirkan pula sosok pemimpin yang tidak beriman dan lepas tanggung jawab atas rakyatnya.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam, seorang pemimpin merupakan periayah dan pengatur urusan umatnya. Ia memiliki keimanan yang tinggi kepada Allah Swt dan sangat mengetahui kalau ia akan dimintai pertanggung jawaban oleh semua pihak, baik penguasa maupun rakyat, tunduk terhadap Hukum Syara’. Karena sungguh dalam Islam, kedaulatan berada di tangan Syara’. Hukum Syara’ ini akan diterapkan dalam sebuah institusi yakni Daulah Khilafah Islamiyyah. Inilah pemimpin yang memiliki keimanan yang tinggi di hadapan Allah Swt.

Wallahu’alam bishawab

 

Resti Mulyawati, S. Farm
(Penulis, Bojongsoang)

 

[LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis