Perlakuan Terhadap Orang Gila di Sistem Demokrasi

Oleh: Ria Asmara

 

Lensa Media News – Miris, ulama dimusuhi lagi. Minggu, 13 September 2020, Syekh Ali Jaber ditusuk. Beliau mengalami luka di lengan yang cukup dalam. Bahkan, sebilah pisau yg digunakan untuk menusuk beliau, patah dan tertinggal di lengannya. Melalui akun youtube, beliau menjelaskan bahwa lukanya mendapat 10 jahitan. Bersyukur, pada kejadian tersebut, pelaku langsung bisa diamankan. Pelaku bernama, A. Alfin Andrian (AA), 24 tahun. Polisi menyebutkan ia mengalami gangguan kejiwaan. Namun anehnya, Rumah Sakit Jiwa Lampung tidak memiliki arsip atau dokumen apapun mengenai Sang Penusuk. Orang tua pelaku, M. Rudi (46 tahun) mengatakan, puteranya sudah empat tahun mengalami ganguan kejiwaan. Kepala Bagian Humas RSJ (Rumah Sakit Jiwa) Provinsi Lampung, David menyatakan sudah mengecek dan tak menemukan arsip berobat atas nama pelaku.

Syekh Ali Jaber tak yakin bila pelaku disebut orang gila. Sebab menurutnya, pelaku seperti orang yang terlatih. Pelaku bahkan berusaha mencabut pisau yang gagangnya patah akibat gerakan memutar yang dilakukan Syekh Ali. Menurut dia, pelakunya menargetkan lehernya. Namun, karena ada sedikit gerakan reflek, pisau menancap di lengan atas dekat pundaknya.
“Karena yang bersangkutan ini terlatih pasti ada dalang atau orang di belakangnya yang menyuruh. Wallahua’lambisshawwaab,” kata Syekh Ali Jaber (jawapos.com, 15 september 2020).

Hal senada disampaikan oleh tetangga AA, meskipun orang tua pelaku langsung yang mengatakan jika AA memiliki gangguan jiwa, tapi tetangga mengatakan jika dia baik-baik saja. Bahkan banyak orang meragukan jika memang dia mengidap gangguan jiwa, terutama karena selama ini dia aktif menggunakan media sosial dan terlihat biasa dari foto yang diunggahnya (pangandaran.pikiran-rakyat.com, 14 September 2020).

Ada apa dengan orang gila di negeri ini? Ini bukan kali pertama orang yang dianggap gila menjadi pelaku penyerangan ulama. Wajar jika kemudian banyak pihak yang meragukan dan meminta kasus untuk diusut tuntas.

Kasus serupa pernah menimpa Kiai Umar Basri, pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada akhir Januari 2018. Kiai Umar Basri dianiaya usai salat subuh di masjid Al Mufathalah. Berselang seminggu kemudian penganiayaan kembali terjadi pada pengurus Persis, Ustaz Prawoto yang mengakibatkan beliau meninggal dunia.
Meski tidak menyerang ustaz, kasus lain yang juga menyorot perhatian terjadi di Tuban, Jawa Timur, ketika seorang pria paruh baya diketahui mengamuk dan melakukan perusakan di Masjid Jami Baiturrahim, Selasa (13/2/2018) sekitar pukul 01.30 WIB. Pihak kepolisian dengan cepat menyatakan para pelaku mengalami gangguan jiwa sehingga tak bisa dijerat pidana (m.ccnindonesia.com, 15 Februari 2018).

Memang betul, orang gila sudah seharusnya terbebas dari hukum. Karena sudah diangkat pena darinya. Hanya saja, untuk kasus-kasus penyerangan ulama, harus betul-betul diusut tuntas. Jangan sampai kondisi “gila” dimanfaatkan oleh pihak tertentu sebagai tameng.

Sebaliknya, ada perlakuan lain terhadap orang gila di negeri pengusung demokrasi ini. Pemilihan presiden 2014 lalu, tidak saja diikuti oleh ”orang-orang waras”. Atas desakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat terobosan baru dengan memberikan hak suara kepada penderita gangguan jiwa. KPU juga memasilitasi penyelenggaraan pemilu di tempat-tempat perawatan orang gila seperti rumah sakit jiwa (RSJ) dan panti-panti sosial (republika.co.id, 9 Juli 2014).

Hal ini, tentu memiliki landasan hukum, yaitu undang-undang. Jika kemudian kita temukan perlakuan berbeda terhadap orang gila di sistem demokrasi ini, tentu menjadi suatu kewajaran. Beginilah lemahnya undang-undang buatan manusia di sistem demokrasi. Di satu sisi, orang gila menjadi kebal hukum, karena sudah diangkat pena darinya. Namun di sisi lain, suaranya masih diperhitungkan (seolah pena belum diangkat darinya). Tumpang tindih.

Untuk itu, saatnya kembali kepada sistem Islam. Sistem yang paripurna mengatur hidup manusia. Yang mustahil akan terjadi benturan atau tumpang tindih antara aturan yang satu dengan aturan yang lain. Karena sistem Islam datang dari Sang Khaliq.

Wallahua’lambishawwab.

 

[lnr/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis