Lumpuhnya Kekuasaan di Tangan Oligarki
Oleh : Isnawati
Lensa Media News – Pembahasan mengenai oligarki menjadi urgent tidak hanya dalam ranah akademis tetapi juga praktis di tingkat publik. Kisah-kisah orang kaya dan berkuasa yang mampu berkelit dari jeratan hukum korupsi sangat familiar di Indonesia. Skandal korupsi seakan tidak pernah hilang mengisi lembaran sejarah negeri ini.
Djoko Tjandra hanyalah salah satu fakta kasus korupsi yang menjadi buronan dari pengalihan hak tagih piutang Bank Bali sebesar 940 miliar rupiah. Mencuatnya kasus ini setelah diketahui melakukan perjalanan keluar masuk Indonesia. Kasus ini konon turut menyeret banyak instansi termasuk tokoh tinggi kepolisian yang membuat banyak pihak khawatir.
Advokad dan Pengamat Kebijakan Publik Togar Situmorang, SH, MH, M.AP pada hari Minggu 19 Juli 2020 mengatakan, “Dalam kasus Djoko Tjandra jelas membuktikan ada mafia hukum di Indonesia dari kalangan pejabat instansi penegak hukum kita sendiri,” tandasnya. Bali Netizen (19 Juli 2020)
Sebenarnya bukan pertama kali dan bukan hal yang baru nama penegak hukum terseret kasus pelanggaran hukum. Slogan “Hepeng Do Na Mangatur Negara On” menjadi sebuah metode. Bisa dibayangkan betapa bahayanya jika uang dijadikan sebagai landasan pengaturan sebuah negara. Tiang hukum bisa dihancurkan oleh Djoko Tjandra menjadi bukti ada upaya sistemik untuk mengorkestrasi kekuasaan sampai ke jantung instansi penegak hukum.
Kekuatan politik dan uang sangat kuat hingga oligarki begitu leluasa memainkan perannya, sumbu-sumbu kekuasaan melumpuhkan aparatur negara. Dilain sisi pemberantasan korupsi sudah mati, KPK yang menjadi satu-satunya harapan rakyat agar bisa mengatasi korupsi juga sudah diamputasi terkait penyidikan, penuntutan sampai pada prosedur.
Kerusakan secara struktural dan sistemik semakin rapi dengan cara invicible hand memuluskan jalan para koruptor seperti yang dilakukan Djoko Tjandra. Status DPO yang ada di belakang namanya tidak menyulitkannya untuk keluar masuk dalam dan luar negeri serta mengurus surat-surat dan perjanjian PK. Artinya, ada yang membantu.
Oligarki berperan menghilangkan kekuatan negara dan penguasa dengan menempatkan hanya sebagai regulator bukan sebagai pengontrol jalannya hukum dan politik. Kegagalan Demokrasi nampak jelas padahal mahal dan berbiaya tinggi serta menghasilkan penguasa yang transaksional.
Dalam praktik politik, prinsip tak ada makan siang gratis memupuk kerjasama yang baik antara calon penguasa dengan pemilik modal yang berbuah konsekuansi yang tidak tertulis. Konsekuensi ini berefek pada kebijakan yang tidak lepas dari pihak yang membiayai dan beroperasi secara sistemik.
Demokrasi lahir sebagai sistem yang cacat sehingga tumbuh menjadi sistem yang tidak ideal, kompromi yang dihasilkan hanya mengandalkan akal yang penuh dengan keterbatasan. Dengan segala keterbatasannya pula mereka mencampakkan peran Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan untuk mengatur negara, dari sinilah hadirnya mafia-mafia politik.
Landasan hukum seharusnya menertibkan dan mengikat bagi siapa saja yang menjadi rakyat dalam sebuah kepemimpinan, tanpa memaksa dari segi keyakinan. Keimanan harus menjadi landasan bernegara sebagai jalan menuju keadilan, keamanan dan kesejahteraan dengan pengaturan yang efektif dan efesien tidak berubah-ubah.
Pengaturan yang efektif dan efesien hanya ada dalam pengaturan Islam secara kaffah, yang pernah mewarnai lembaran-lembaran sejarah hingga 13 abad. Dalam Islam korupsi merupakan harta ghulul harta di luar gaji yang diberikan karena memiliki jabatan.
Rasulullah SAW pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. Pada masa itu Nabi mempekerjakan Ibnu Attabiyyuh sebagai pengumpul zakat. Ibnu Attabiyyuh berkata kepada Rasulullah SAW “Kuserahkan kepadamu hasil pengumpulan zakat ini, sedangkan harta yang ini adalah harta yang diberikan orang kepadaku.”
Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta yang ini adalah harta yang diberikan orang kepadaku, apakah tidak lebih baik dia duduk saja di rumah bapak atau ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang nyawaku ada ditanganNya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya.” (HR. Bukhari Muslim)
Keparipurnaan pengaturan dalam Islam sangat luar biasa, meletakkan kekuasaan di tangan rakyat dan kedaulatan peraturan berlandaskan Alquran dan Assunnah. Sangsi korupsi dalam Islam sangat keras mulai dari diumumkan, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati diterapkan tanpa tebang pilih. Efek jera dan pembelajaran bagi yang lain akan menghantarkan pada kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Kembali pada fitrah yaitu pengaturan bernegara dengan Syariat Islam dalam naungan Khilafah adalah kunci dasar untuk keluar dari kungkungan oligarki.
Wallahu a’lam bis swab
[ra/LM]