Merdeka Antara Ilusi dan Realita
Ummu Zhafran
(Muslimah Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Benarkah kita sudah merdeka? Jelang peringatan hari proklamasi kemerdekaan negeri ini, soalan di atas kembali menyapa. Terbayang rilis dari Bank Indonesia (BI) bulan lalu. Tercatat utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 sebesar US$404,7 miliar. Nilainya setara Rp5.922 triliun (kurs Rp14.633 per dolar AS (cnnindonesia, 17/7/2020).
Fantastis sekaligus mengiris. Lazimnya, utang tanda seseorang terikat dan bergantung. Jelas pada kreditur yang memberi pinjaman. Maka bila negeri ini dibelit kredit sejumlah nominal di atas, layakkah merdeka diklaim sebagai realitas? Jangan sampai narasi yang dirayakan selama tiga perempat abad ini baru sebatas ilusi.
WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (PN Balai Pustaka, Djakarta, 1966) menyatakan merdeka berarti, “bebas (dari perhambaan, pendjadjahan); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak bergantung pada sesuatu juga lain); lepas (dari tuntutan).”
Senada dengannya, terdapat adagium Arab, “La syai’a atsman-u min-a al-hurriyah.” Berarti tak ada yang lebih bernilai dibanding kemerdekaan”.
Benarlah demikian sebab merdeka atau kemerdekaan (al-hurriyyah) merupakan suatu nilai tertinggi dan anugerah Tuhan yang amat berharga bagi manusia. Tak satu pun di muka bumi ini bisa mengingkari absolutnya manusia ciptaan Allah. Keagungan Sang Pencipta semakin mengkristal saat memberikan kemerdekaan kepada manusia saja, tidak untuk makhluk lainnya seperti langit dan bumi. Eksistensi akal yang jadi penyebab. Dengannya menjadikan kita sanggup mencerna ketauhidan Allah. Berikutnya, mengantar pada pemahaman bahwa manusia tidak boleh tunduk kepada siapa pun selain Allah. Penghambaan manusia kepada sesama manusia, apalagi kepada makhluk lain yang lebih rendah, dapat merendahkan harga diri manusia, bahkan melecehkan harkat kemanusiaan. Sebab menyimpang dari tujuan manusia diciptakan.
Padahal sudah tentu untuk ibadah, yang jadi visi hidup manusia. Sehingga merdeka esensinya ketaatan. Sepenuhnya sebagai hamba yang membutuhkan. Firman Azza wa jalla,
“ Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” ( QS Adz-Dzariyat:56).
Inilah kemerdekaan sejati yang dibawa dan diadvokasi oleh para Nabi dan Rasul Allah sepanjang sejarah. Mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah. Membebaskan manusia dari ketaatan dan ketundukan pada selain-Nya.
Sebagaimana seruan Rasulullah saw. pada penduduk Najran melalui surat yang terekam dalam sirah,
“ …Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Islam Mewujudkan Kemerdekaan Sejati
Narasi kemerdekaan negeri ini boleh saja usai. Namun, geliatnya masih terus mempertontonkan ironi. Persoalan tak kunjung henti mendera sementara beragam solusi tak mampu bikin selesai. Bencana alam susul- menyusul mengintai. Ditambah pandemi yang belum juga menepi. Bahkan korban semakin menduplikasi. Maka mari sama-sama evaluasi. Adakah tujuan hidup kita di dunia sudah usai dipahami?
Merujuk firman Allah swt.,
” Mereka (Bani Israil) menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (QS At-Taubah: 3).
Diriwayatkan dari jalur Adi bin Hatim ra. saat mendengar Rasulullah saw. membaca ayat di atas, ia (Adi bin Hatim) menyatakan bahwa Bani Israil (Yahudi dan Nasrani) tidak menyembah para pendeta dan para rahib mereka. Kala itu Rasul saw. bersabda,
“ Akan tetapi, jika para rahib dan pendeta mereka menghalalkan sesuatu untuk mereka maka mereka pun menghalalkannya, dan jika para rahib dan pendeta mereka mengharamkan sesuatu atas mereka maka mereka pun mengharamkannya.” (HR At-Tirmidzi).
Jelaslah Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat mengikuti aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia dengan syariat dari Allah yang Maha Pencipta. Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem-sistem selain Islam menuju keadilan Islam yang diturunkan oleh Yang Maha Adil.
Cara terbaik menjadikan semua itu nyata jika umat manusia mengembalikan hak penetapan aturan hukum hanya kepada Allah dan Rasul saw. Artinya, memberlakukan syariah secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Mulai dari masalah makanan hingga kenegaraan. Hingga kemerdekaan di bawah naungan Islam yang Rahmatan lil alamin sebagaimana janji Allah menjelma nyata. Mustahil sebatas ilusi. Tak pula sekadar narasi. Bagaikan cahaya, gemilangnya peradaban akan berpendar hingga akhir zaman. Mengikuti jejak yang dahulu telah ditorehkan sejak masa Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin dan para Khalifah setelahnya.
“ Dan jika penduduk negeri beriman dan bertakwa ( kepada Allah sesungguhnya Kami ( Allah ) bukakan kepada mereka ( pintu-pintu ) berkah dari langit dan bumi..” (QS Al-A’raf:96).
Wallahu a’lam.
[ry/LM]