Ketegangan di PLN Akibat Utang?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban) 

 

LensaMediaNews – Tak terlalu mengejutkan jika perusahaan listrik negara yang sudah berubah badan menjadi perseroan terbatas ini mengalami ketegangan karena utang. Sejak berubahnya status perusahaan dan go public, tinggal menunggu waktunya saja untuk kolaps. Dan hal ini menjadi nyata.

PT PLN (Persero) menghadapi kinerja keuangan yang berat. Utang pemerintah senilai Rp 45,42 triliun ke perusahaan belum juga dibayar. Utang itu berasal dari kompensasi tarif selama 2 tahun karena kebijakan Presiden Jokowi tidak menaikkan tarif listrik (kumparan.com, 26/7/2020).

Ekonom Senior, Faisal Basri, menjelaskan kondisi itu membuat BUMN setrum berada di ujung tanduk. Hal itu diungkapkan Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini, saat bertemu dengan Faisal Basri. “Saya kemarin baru kayak mau nangis sama Dirut PLN, dia bilang sampai sekarang tunggakan pemerintah nol belum dibayar. Akibatnya kalau September belum dibayar, kolaps PLN,” ujarnya saat Webinar yang diadakan oleh Universitas Brawijaya secara virtual.

Tak hanya utang pemerintah, PLN juga terancam kolaps karena terlilit utang hingga Rp 500 triliun, akibat kebiasaan perusahaan mencari pinjaman Rp 100 triliun setiap tahun selama lima tahun terakhir. Utang tersebut untuk membiayai proyek kelistrikan 35.000 MW yang merupakan penugasan pemerintah sejak 2015.

Keresahan nasib PLN berpotensi kolaps juga pernah disampaikan Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima. Dalam rapat dengar pendapat dengan Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini bulan lalu, Aria bertanya kepada Zulkifli mengenai dampaknya ke PLN apabila pemerintah tidak segera membayar utang Rp 45,42 triliun tersebut. Ia khawatir karena ada kabar PLN terancam bangkrut pada Oktober 2020. Kala itu, Zulkifli menjawab perusahaan masih optimistis bisa berjalan. Apalagi pemerintah berjanji akan membayar utang Rp 42,45 triliun pada Juli 2020.

Sebenarnya utang pemerintah ke PLN senilai Rp 45 triliun karena ada tambahan Rp 3 triliun akibat kebijakan pemerintah memberikan listrik gratis ke 24 juta pelanggan 450 VA dan diskon ke 7 juta pelanggan 900 VA, di mana dananya ditalangi PLN.

Lalu bagaimana para penguasa mengelola negeri ini, sampai salah urus menuju kebangkrutan? Apakah ini pertanda bahwa PLN akan dijual kepada kapitalis asing-aseng? Jika benar, rakyat lagi yang akan jadi tumbal atas kebijakan tersebut.

Akar persoalan dari semua ini karena masalah hajat hidup orang banyak, yang semestinya dikelola oleh negara dalam sistem kapitalis berubah menjadi bisnis untung rugi. Itu pula yang mendasari mengapa perusahaan listrik negara ini harus go public, menjual kepemilikannya dalam bentuk saham. Artinya harus pula masuk dalam pusaran bisnis non real.

Padahal, keuntungan yang diperoleh pun non real alias berfluktuasi. Juga rentan kepemilikan saham dimiliki oleh para kapitalis yang berdasarkan besaran modal mampu mendikte perusahaan sesuai keinginannya. Jika saja pengelolaannya benar, maka seharusnya listrik gratis diperuntukkan untuk rakyat negara. Baik negara maupun perusahaan tidak akan mengalami kerugian.

Kemudian ketika butuh tambahan dana, harus ditutup dengan utang riba, makin memberatkan beban perusahaan. Padahal SDA kita melimpah, jika dikelola dengan baik sesuai dengan hukum kepemilikannya pasti akan memberikan hasil yang luar biasa. Namun apa daya, bahkan sumber uap air yang berada di gunung Salak Bogor saja sudah bukan milik negara, melainkan asing.

Dalam Islam, dimana listrik adalah kepemilikan umum. Maka segala hal yang berhubungan dengan ekplorasi, penyaluran dan pendataan akan diambil oleh negara. Menjadi milik umum, siapapun boleh mengakses dan tidak boleh dimiliki individu. Aseng atau asing hanya mempersulit diri sendiri sebab tabiat mereka menguasai dan tamak.

Jelas, aturan harus dikembalikan kepada yang benar-benar mampu mengembalikan hak publik masyarakat berikut perusahaan yang sejatinya pelayan bagi umat. Apakah akan didapat dari sistem hari ini? Tentu tidak! Namun, harus Islam kaffah.

Wallahua’lam bishowab

 

[LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis