Bansos yang Pelit dan Berbelit, Begini Metode Islam Atasi Kemiskinan
Oleh : Susmiyati, M.Pd
Lensa Media News – “Permisi bu bidan. Kata ibu tadi, saya harus dikarantina. Ndak boleh keluar selama 2 pekan. Istrihat di rumah dan makan yang bergizi. Saya mau tanya bu. Untuk makan bergizi, apakah nantinya saya dapat paket makanan dari pemerintah?”
Pertanyaan di atas merupakan penggalan dialog antara bidan desa anggota tim penanganan Covid -19 di desa kami dengan warga yang baru mudik, di awal April yang lalu. Warga dengan status ODP yang baru pulang dari Kalimantan itu juga korban PHK. Tentu saja, bidan itu bingung untuk menjawab, hingga dia hanya bisa diam. Dialog yang sederhana namun cukup menggambarkan, bagaimana rakyat di negeri ini harus berjuang sendiri untuk bisa lolos dari incaran virus Corona. Himbauan lockdown yang tak dibarengi dengan jaminan pemenuhan kebutuan pokok mereka, membuat gundah hati rakyat. Kalau pun ada bantuan dari pemerintah, besarnya tak seberapa, jumlahnya jauh dari angka kemiskinan, ditambah prosedur yang ribet dan berbelit.
Hempasan virus Corona menjadikan roda perekonomian di negeri ini semakin seret perputarannya. Angka PHK ikut menanjakkan jumlah kemiskinan, Pemerintahan telah menyusun kebijakan dengan membuat jaring pengaman sosial. Salah satunya dengan memberikan bantuan sosial berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin. Anggaran dibuat dengan memotong alokasi dana desa. Bansos yang besarnya Rp 600.000 per KK per bulan itu diberikan selama tiga bulan. Total anggaran yang disediakan Rp 22,4 triliun atau 31% dari total anggaran dana desa Rp 71,19 triliun (www.finance.detik.com,24/4/2020).
Sayangnya, implementasi dari program ini di lapangan menemui banyak sandungan. Mulai data yang tidak akurat, kriteria kemiskinan yang seabrek hingga jumlahnya tak sebanding dengan angka kemiskinan. Di beberapa tempat, sumbangan ini malahan jatuh pada orang mampu, sementara yang miskin hanya bisa melonggo. Tentu saja ini menimbulkan kecemburuan sosial (vivanews.com,24/4/2020).
Potret Buruk dalam Penanganan Wabah
Awalnya masyarakat merespon positif terhadap kebijakan bantuan langsung tunai ini. Kaum miskin yang jumlahnya tak kurang dari 22 jutaan ini, seakan diberi harapan untuk setidaknya bebannya terkurangi. Namun, adanya sejumlah masalah dalam realisasinya, membuat warga menjadi kecewa.
Realitas menunjukkan bila kebijakan yang berhubungan dengan rakyat, rezim tidak serius mengurusnya. Polemik seputar pencairan bansos bukan sekedar masalah teknis. Hal itu lebih disebabkan oleh pemerintahan yang kapitalistik yang menganggap model negara korporatokrasi sebagai role model yang ideal. Negara yang mempercayakan kepengurusan hajat hidup rakyat kepada pihak swasta. Sementara negara lebih membatasi diri pada perannya sebagai regulator.
Hal itu bisa dilihat dari alokasi dana yang dikucurkan pemerintah untuk bantuan sosial ini, tidak sebanding dengan limpahan kepada para pengusaha. Dalam Perppu no 1 tahun 2020, Jokowi mengumumkan tambahan anggaran penanganan virus Corona Rp 405,1 triliun, dengan rincian Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial. Kemudian Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, serta Rp 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional (liputan6.com,01/04/2020). Sedangkan dana untuk menangani kemiskinan pada wabah Corona hanya disediakan Rp 22,4 triliun, Itu pun diambilkan sebesar 31% dari total anggaran dana desa Rp 71,19 triliun.(www.finance.detik.com, 24/4/2020).
Alokasi untuk pemulihan ekonomi dan insentif perpajakan hampir dua kali lipat dari dana jaring pengaman sosial. Mirisnya, dana ini tidak semua disalurkan pada kebutuhan pokok rakyat. Belum lagi program kartu prakerja sebesar 5,6 triliun yang sebagian besarnya masuk ke kantong pengusaha. Bandingkan dengan angka Rp 600 ribu sebagai sumbangan per KK dan bukan untuk person. Bayangkan bila keluarga itu terdiri dari 6 orang, berarti rerata akan mendapat Rp 100 ribu per bulan. Sungguh, tidak ada kata yang tepat untuk bansos ini kecuali pelit dan berbelit.
Islam dan Jaminan Kesejahteraan Sosial
Sistem Islam dan Kapitalis, keduanya berbeda secara diametral dalam perkara mengurusi rakyatnya. Sejarah mencatat dengan tinta emas tentang kesejahteraan yang didapatkan rakyat dalam naungan sistem Islam. Islam memandang bahwa seluruh rakyat harus mendapatkan jaminan kesejahteraan, yang meliputi kebutuhan pokok bagi tiap individu, berupa sandang, pangan dan papan. Juga pemenuhan akan jasa pokok, yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Semua rakyat harus dilayani orang-perorang, tanpa memungut biaya. Mekanisme penuhinya kebutuhan pokok itu ada dalam kebijakan ekonomi negara khilafah.
Kebijakan ekonomi dalam negara Khilafah berupa pengaturan keuangan negara berbasis baitul maal, di mana APBN ditopang oleh sumber yang pasti, yang berasal dari tiga pos pengelolaan. Pertama, pengelolaan harta yang masuk kemilikan umum. Termasuk kategori ini adalah hutan,laut, sungai, dan barang tambang. Kedua, pengelolaan harta dari kemilikan negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz dan harta pejabat yang diperoleh dengan jalan curang. Ketiga, dari pengelolaan harta zakat maal.
Namun, jika semua itu belum cukup, barulah negara memungut pajak dari laki-laki muslim yang dewasa dan kaya. Kaum miskin tidak dikenai pajak, mereka bahkan dilayani. Alhasil, sistem Islam memiliki program pengaman sosial yang jitu dan terbukti ampuh memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya di tengah kondisi apa pun dan kapan pun.
Wallahu a’lam bish showab.
[ry/LM]