Wakil Rakyat atau Wakil Korporat?
Oleh Nabila As Shobiro
Muslimah Aktivis Dakwah
LensaMediaNews— Tak habis pikir dengan mereka yang mengaku wakil rakyat negeri ini. Di tengah rakyat kesusahan setengah mati menghadapi pandemi corona, terhimpit di antara dua kondisi yakni was-was terjangkiti wabah dan ancaman kelaparan, DPR malah membahas revisi UU Minerba. Tak heran jika mereka menuai banjir kecaman dari berbagai pihak. Masyarakat pun menuding mereka tak punya simpati terhadap hal berat yang tengah dialami rakyat. (Kaltim.tribunnews.com, 5/4/2020)
Pasalnya para anggota dewan memang tampak tergesa-gesa membahas revisi UU Minerba tersebut. Banyak pihak yang kemudian menanyakan seberapa urgen pembahasan UU Minerba, dibanding dengan nasib rakyat negeri ini yang sedang bertaruh nyawa menghadapi pandemi Corona dan kelesuan ekonomi. Kombinasi absennya pengutamaan kepentingan bangsa dengan ketergesaan pembahasan revisi UU Minerba tak dapat dihindari merebakkan aroma tak sedap. Mengapa terburu-buru mengesahkan revisi UU Minerba? Siapa sejatinya yang berkepentingan dalam revisi UU Minerba?
Seperti yang diketahui bahwa saat ini ada tujuh maskapai pertambangan batu bara besar yang akan segera terminasi atau berakhir masa kontrak. Umumnya merupakan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama dengan kapasitas produksi terbesar (Mediaindonesia.com, 11/12/19). Dari sini jelas ada kepentingan perusahaan-perusahaan besar pertambangan batu bara yang menginginkan usaha tetap eksis, bertahan dan lancar dalam mengeruk kekayaan batu bara yang berlimpah di beberapa kawasan strategis di negeri ini. Dan DPR ternyata mempunyai peran penting untuk memuluskan jalan para korporasi kapitalis merampok harta publik.
Beginilah watak rezim kapitalis yang berpihak pada kepentingan segelintir elit dan abai terhadap maslahat rakyat. Mereka oportunis di tengah wabah bahkan hilang empati terhadap derita rakyat. Hal ini sesungguhnya hal yang wajar dalam sistem demokrasi. Jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah sebuah ilusi yang seolah indah namun kosong kenyataannya.
Suara rakyat yang konon diwakili oleh para anggota dewan, ternyata tidak pernah terealisasi. Kenyataannya para anggota dewan hanya peduli dengan suara rakyat ketika mereka berkepentingan untuk meraih kursi jabatan yang dianggap prestise atau bergengsi, karena menjadi pembuat hukum dalam mengurusi kepentingan rakyat. Dan untuk bisa meraih suara sebanyak-banyaknya, mereka mengeluarkan dana yang cukup fantastis jumlahnya. Dana fantastis tersebut tidak mungkin disiapkan secara pribadi mereka, tapi didapat dari pemodal besar yang punya tujuan di balik pendanaan tersebut, apalagi jika bukan dalam rangka memuluskan usaha atau bisnisnya lewat para wakil rakyat yang didanainya. Dari sini sudah bisa ditebak bahwa keberadaan wakil rakyat dalam sistem demokrasi sejatinya bukan mewakili aspirasi rakyat namun untuk membuka jalan dan kelancaran usaha bagi kaum kapitalis. Tak ayal lagi jika para korporasi kelas dunia mati-matian mempertahankan sistem demokrasi ini.
Beginilah karakter dasar demokrasi. Dia adalah sistem yang meracuni umat, membuat umat tak hanya kehilangan berbagai harta kekayaan alam, namun yang tak kalah miris racun itu dicekokkan oleh bangsa sendiri atas nama wakil rakyat. Karena itu bertahan dengan sistem demokrasi ini sama dengan mempertahankan perampokan jahat kaum kapitalis atas kekayaan negeri. Saatnya kita mencampakkan sistem kapitalisme demokrasi yang rusak dan menggantinya dengan sistem Islam yang sahih, yakni Khilafah. Wallahu a’lam. [Hw/Lm]