Bahaya Tersembunyi di Balik Omnibus Law
Oleh: Marlina Shofiyyah
(Pengasuh MT. Raudhatul Jannah)
LensaMediaNews – Pemerintah RI memprogram tahun 2020 untuk menyegerakan omnibus law. Yaitu menetapkan aturan yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Semua UU yang akan direvisi bertujuan untuk mempermudah investasi masuk ke Indonesia, sehingga diharapkan mampu meningkatkan perekonomian nasional.
Namun, RUU Cipta Lapangan Kerja disusun lewat program omnibus law ini mendapat penolakan dari berbagai pihak. Terdapat beberapa aspek yang membuat pro dan kontra, diantaranya tentang ketenagakerjaan, penghapusan ketentuan makanan halal dan perda syariah.
Klaster Ketenagakerjaan
Penolakkan terjadi, terutama kaum buruh yang merasa akan banyak dirugikan, salah satunya di Kalimantan Selatan. Sebagaimana yang diberitakan oleh Jejak Rekam, Senin (20/1/2020).
Penolakkan tersebut disampaikan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kalsel melalui audiensi kepada DPRD Kalsel di Banjarmasin. Biro Hukum DPD KSPSI Kalsel, Sumarlan, dalam aspirasi yang disampaikannya mendesak agar rencana itu dibatalkan karena di dalam draf tercantum sejumlah pasal yang akan membuat para pekerja menderita, diantaranya terkait klaster ketenagakerjaan yang kesannya memihak ke pengusaha atau perusahaan.
Di hadapan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalsel yang juga hadir, puluhan organisasi buruh tersebut menyatakan menolak wacana di atas karena dinilai bakal merugikan dan tidak memihak kaum pekerja.
Ada beberapa point klaster ketenagakerjaan diantaranya tentang sistem upah perjam yang membuat khawatir upah menjadi lebih rendah. Selama ini, melalui mekanisme upah minimum per bulan saja, buruh sudah berada di garis kemiskinan. Lebih-lebih lagi jika berlaku upah perjam.
Tentu point tersebut merugikan pihak buruh, semakin jauh dari kesejahteraan dan kemakmuran. Sudah menjadi opini umum bahwa upah buruh yang rendah menjadi salah satu daya tarik investasi di Indonesia. Investor senang, buruh tertekan.
Inilah kapitalisme, selama negara masih menganutnya. Selama itu pula rakyat menderita, disadari atau tidak. Berbeda dengan aturan Islam, dimana Islam sangat memperhatikan kesejahteraan setiap individu. Dibedakan antara kebutuhan pokok dengan upah. Terpenuhinya kebutuhan pokok adalah tanggung jawab negara pada seluruh rakyatnya. Bukan kewajiban pemberi kerja pada pekerja.
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Dalam hadits tersebut jelas bahwa sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di hari akhir. Mengurusi kemaslahatan rakyat yang merupakan amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Penghapusan Sertifikasi Produk Halal
Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi menyebut, berdasarkan Pasal 552 RUU Cipta Lapangan Kerja yang beredar, sejumlah pasal di UU Jaminan Halal akan dihapus yaitu Pasal 4, Pasal 29, Pasal 42, Pasal 44. Pasal 4 UU Jaminan Halal mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal (Tribunnews.com/21/1/2020).
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan sudah sepatutnya jika dalam amaliahnya mengikuti ajaran agama, diantaranya terkait dengan penggunaan produk halal.
Allah SWT berfirman: ” Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata” (QS al-Baqarah [2]: 168).
Ancaman Terhadap Perda Syariah
Omnibus law ini juga membuat perda syariah bisa terancam posisinya. Bagaimana tidak? RUU ini melarang perda itu bernuansa syariah. Perda syariah selama ini dianggap merujuk atas dasar agama tertentu, sehingga dianggap mendiskriminasi penganut keyakinan lain.
“Perda dan Perkada (Peraturan Kepala Daerah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan,” demikian bunyi Pasal 522 ayat 1 RUU Cipta Lapangan Kerja yang dikutip detikcom, Selasa (21/1/2020).
Pada akhirnya yang terjadi adalah fenomena islamfobia. Padahal Islam mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin karena memiliki hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam bukan sekadar agama ritual, namun Islam juga mengatur politik, ekonomi, sosial budaya, sistem sanksi, dan pemerintahan.
Dengan pengaturan yang menyeluruh, Islam membuka peluang bagi terwujudnya kesejahteraan umat di dunia untuk muslim dan nonmuslim. Namun pengaturan secara menyeluruh ini hanya dapat dilakukan oleh sistem Islam, yang direpresentasikan oleh khilafah.
“ Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’râf [7]: 96).
Wallahu a’ lam Bish-showab
[LM]