Merindu Pelayanan Publik yang Merakyat

Oleh: Tety Kurniawati
( Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)

 

 

LensaMediaNews— Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengubah skema subsidi harga gas elpiji 3 kilogram mulai semester II 2020. Nantinya, subsidi tidak akan diberlakukan untuk memangkas harga barang, melainkan diberikan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan.

 

Salah satu yang dipertimbangkan adalah kompensasi dalam bentuk uang. Dengan demikian, harga liquid petroleum gas (LPG) akan disesuaikan dengan harga pasar, sekitar Rp 35.000 per tabung. Tetapi, masyarakat miskin akan menerima kompensasi dalam bentuk uang atas selisih kenaikan harga gas tersebut.

 

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto menjelaskan, langkah ini adalah upaya pemerintah menyalurkan subsidi dengan lebih tepat sasaran (katadata.co.id 23/1/2020).

 

Penerapan kebijakan pemangkasan subsidi sejatinya bukanlah hal baru dinegeri tercinta. Sejak rezim berkuasa mulai periode silam, kebijakan alih subsidi ke pelbagai sektor produktif menjadi salah satu perhatian utama. Maka hampir bisa dipastikan setiap tahun terjadi alih subsidi, alias kenaikan harga disektor yang dianggap rawan penyalahgunaan. Antara lain sektor bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan gas elpiji 3 kg.

 

Janji penguasa hadir sebagai pelayan rakyat. Nyatanya hanya pemanis pesta Demokrasi yang minim realisasi. Negara dikelola ala tata kelola perusahaan yang harus mampu memaksimalkan keuntungan yang didapat. Wajar jika kemudian subsidi dianggap komponen yang menyebabkan APBN terbebani. Alih-alih mampu menjawab kebutuhan rakyat, krisis pelayanan publik senantiasa tak terhindari.

 

Selain itu, sebagai pengemban ideologi kapitalisme liberalisme. Negara berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan yang mendukung amanah liberalisasi. Sebagaimana yang tercantum dalam LoL IMF, Januari 2000. Pengurangan subsidi sekaligus perintah Bank Dunia dan syarat pemberian hutang (Indonesia Country Assistence Strategy, World Bank, 2001).

 

Lebih lanjut hal ini juga tertuang dalam dokumen program USAID, Energy Sector Goverment Strengthened yang menyebutkan bahwa “sektor energi akan lebih efisien dan transparan manakala meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi dan mempromosikan keterlibatan sektor swasta”. Alhasil, demi mengakomodir kepentingan para kapitalislah kenaikan harga energi digulirkan. Tak peduli jika rakyat sendiri terdzalimi dan jadi korban.

 

Berbeda dengan pandangan Islam. Minyak bumi, gas dan aneka sumber daya alam lainnya yang melimpah digolongkan pada kepemilikan umum. Dimana pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara dan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Haram dikuasai oleh perorangan, korporasi apalagi pihak asing. Rasulullah saw bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal : padang rumput, air dan api”. (HR Abu Dawud dan Ahmad)

 

Maka sudah saatnya kebijakan liberalisasi migas baik disektor hilir (terkait penentuan harga) maupun sektor hulu (terkait penentuan jumlah produksi migas) beserta semua kebijakan dzalim dan khianat lainnya harus dihentikan.

 

Diganti dengan pengelolaan energi yang sesuai dengan syariah Islam. Untuk subsidi sumber energi hukumnya boleh dalam Islam. Karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Namun dalam kondisi terjadi ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi dihukumi wajib. Karena mengikuti kewajiban untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi. Sekaligus mencegah harta beredar hanya dikalangan tertentu.

 

Saat itulah ketahanan energi sebuah bangsa akan tercapai. Optimalisasi energi baru dan terbarukan (EBT) jadi prioritas pertama. Konservasi energi terjaga. Pelayanan publik yang merakyat pun jadi realita. Kala aturan Illahi diterapkan tuk mengatur semua aspek kehidupan manusia. Wallahu a’lam bish showab. [LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis