Kekecewaan Ormas pada Janji Politik, Akankah Terulang Kembali?
Oleh: Mamay Maslahat Sasmita
(Dosen di Bogor)
LensaMediaNews – Walaupun hiruk pikuk pemilihan umum untuk pemilihan presiden dan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR-MPR telah lewat pada tahun 2019 kemarin, namun pemilihan kepala daerah (pilkada) telah di depan mata.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, akan diselenggarakan pilkada serentak tahun 2020 dengan tahapan pendaftaran calon gubernur pada Februari 2020, pendaftaran calon bupati dan walikota akan dimulai Maret 2020, dan tahapan puncak pemungutan suara pilkada pada Rabu 23 September 2020.
Dengan agenda rutin lima tahunan ini, rakyat beserta ormas akan kembali menjadi primadona, didekati para calon kepala daerah sebagai lumbung untuk mendulang suara.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana salah seorang tokoh pimpinan Nahdatul Ulama (NU) ormas Islam terbesar di Republik ini menagih janji-janji politik pemerintah yang tak kunjung ditepati. Janji tersebut berupa pemberian kredit murah sebesar Rp1,5 triliun, dan hingga saat ini pihaknya belum menerima bantuan tersebut. Sikap terbuka yang dilakukan tokoh tersebut dengan menagih janji pemerintah di forum terbuka menuai kritikan dan bersifat kontroversial, tidak hanya dari pihak eksternal tapi justru dari pihak internalnya pun cukup kencang dan tajam. Ada kekhawatiran dari cucu pendiri NU, H.Agus Solachul A’am Wahib Wahab, bahwa adanya tagihan kredit murah ini menjadi bagian dari upaya kapitalisasi suara nahdliyin di Pilpres kemarin, ada pembelokan organisasi dari ashabul haq menuju ashabul qoror (pemangku kebijakan), itu sama saja melepas NU dari khitthah-nya. NU menjadi kuda tunggangan politik praktis (https://suaranasional.com/2020/01/06/kh-said-aqil-nagih-kredit-murah-cucu-pendiri-nu-memalukan/).
Melihat hal ini, maka sudah menjadi rahasia umum bahwa ormas selalu menjadi rebutan partai atau kontestan pemilu/pilkada demi mendulang suara memenangkan sang kontestan. Di tengah arus politik sekuler yang transaksional ini, sang kontestan memberi sejumlah janji dan imbalan atas dukungan tersebut.
Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa ketika mereka berkuasa, mereka ingkar janji dan hanya memanfaatkan rakyat dan ormas sebagai mesin pengeruk suara. Hal ini tidaklah mengherankan, karena sudah menjadi watak atau karakter dari sekuler yang memisahkan prinsip-prinsip agama dari kehidupan (fashludin anil Hayat).
Berdasarkan hal ini, sudah seharusnya Umat Muslimin mengambil hikmah dan pelajaran, bahwa keberadaan ormas di tengah masyarakat tiada lain sebagai jawaban atas Seruan Allah SWT dalam QS. Al-Imran 104 yang berbunyi :
“ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ormas tidak boleh melepas tanggungjawabnya dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran) dan muhasabah lil hukkam (koreksi terhadap penguasa).
Semua ini ditunaikan tanpa mengharap imbalan dari penguasa, tidak berkompromi dengan kezaliman, selalu berpegang teguh pada prinsip kebenaran Syariah dengan hanya mengharap rida Allah SWT. Amal ini lah yang saat ini dibutuhkan oleh umat, bukan berupa dana dan suntikan modal yang bahkan akan membuat umat tidak menyadari tentang arti kebenaran yang hakiki.
Ormas Islam yang benar adalah ormas yang dapat menjaga kemurnian akidah dan syariat Islam sebagai prinsip dasar organisasinya; menjadikan prinsip tadi sebagai landasan dasar dari aktivitasnya; terdiri dari orang-orang salih yang menjadi struktur pimpinan dan anggotanya; serta ikatan organisasinya terbentuk berdasarkan ikatan akidah Islamiyah. Ormas ini akan senantiasa terus hadir di tengah umat melakukan pembinaan baik terhadap internal anggotanya ataupun umat secara umum, sehingga terbentuk kesadaran dan kebangkitan taraf berfikir umat. Sudah waktunya, setiap Ormas Islam berbenah dan mengevaluasi diri, tidak mudah terkena bujuk rayu yang akan menyebabkan ormas tersebut menjauh dari spirit/ruh organisasinya, sehingga kekecewaan demi kekecewaan tidak terus dialami di setiap ajang pesta demokrasi baik pemilihan presiden, wakil rakyat ataupun pilkada.
Wallahu Alam.
[el/LM]