Tahun Baru, Derita Rakyat Makin Membiru
Oleh: Suryani Izzabitah
(Dosen dan Pemerhati Sosial)
LensaMediaNews – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah warga Jabodetabek meninggal terdampak banjir hingga senin (6/1) mencapai angka 67 orang. Jumlah pengungsi bertambah menjadi 36.419 jiwa (CNN Indonesia, 6/1/2020).
Mengawali tahun 2020, Indonesia kembali berduka. Banjir Jabodetabek menyisakan banyak persoalan pasca banjir. Kerugian material dan non material tak terhitung. Kerugian akibat kerusakan bangunan fisik ditaksir 10 trilliun. Aktivitas ekonomi terganggu. Kondisi anak-anak, orang tua, para ibu, sangat rentan terkena penyakit. Belum lagi tumpukan sampah berton-ton menimbulkan masalah tersendiri. Banjir selalu menimbulkan penderitaan.
Belum selesai masalah banjir, kini rakyat disuguhi kenaikan beberapa kebutuhan dasar dan vital. Diantaranya, tarif sejumlah ruas tol dipastikan akan naik pada tahun ini. Hal ini didasarkan Pasal 48 ayat (3) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Pasal 68 ayat (1) PP No.15 tahun 2005 tentang Jalan Tol. Dalam kedua beleid itu disebutkan evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap dua tahun sekali oleh Badan Pencatatan Jalan Tol (BPJT) berdasarkan tarif lama yang disesuaikan dengan pengaruh inflasi tempat tol berada (cnbcindonesia.com, 29/12/2019).
Selain itu, iuran BPJS kesehatan naik 100 persen di tahun ini pula. Tarif Dasar Listrik (TDL) juga naik secara periodik. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pun mengalami kerugian yang katanya disebabkan tarif air yang rendah, sehingga dimungkinkan juga akan naik. Seperti yang dikatakan Wapres, Ma’ruf Amin dalam Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional di Hotel Kempinski, Jakarta, beberapa waktu lalu bahwa Tarif PDAM per meter kubik di berbagai daerah seringkali tidak ditentukan berdasarkan kriteria ekonomi, tetapi populis, dan kadangkala politis.
Perlu dicermati bersama bahwa layanan publik seperti jalan tol adalah layanan yang sangat urgent bagi masyarakat. Jarak tempuh yang singkat membuat akses perdagangan antar kota bisa lebih efisien. Pun layanan kesehatan dan pendidikan yang murah, tersedianya air bersih, terjangkaunya tarif dasar listrik, dan lain-lain adalah kebutuhan dasar masyarakat yang seyogianya menjadi fokus pemerintah. Bukan malah sebaliknya, membangun infrastruktur yang ugal-ugalan, tidak tepat sasaran, dan tidak urgen bahkan disinyalir menjadi salah satu penyebab musibah banjir di negeri ini. Negara dengan dalih kemandirian, mencabut subsidi demi subsidi di hampir semua aspek, bahkan untuk kebutuhan dasar/pokok. Dengan sistem ekonomi kapitalis dan model negara korporatokrasi (pemerintahan perusahaan), meniscayakan semua kezaliman itu terjadi.
Hubungan penguasa dan pengusaha dalam sistem saat ini begitu mesra sehingga seolah menutup mata atas penderitaan jutaan rakyat yang terus berulang. Kerugian akibat musibah yang terus mendera negeri ini begitu fantastis. Belum kelar kasus lumpur Lapindo, korban asap Riau akibat kebakaran hutan, dan masih banyak kasus lain yang membuat dada begitu sesak akibat kezaliman birokrasi di negeri ini. Kini rakyat disuguhi lagi oleh kebejatan para tikus-tikus berdasi. Korupsi triliunan di beberapa BUMN, antara lain PT. Asuransi Jiwasraya sebesar 13,7 T rupiah dan PT. Asabri 16 T rupiah.
Tidak cukupkah bagi kita peringatan Allah Swt. dalam Q.S. Ar-Ruum: 41, yang artinya “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat di atas menegaskan bahwa kerusakan lingkungan yang berdampak pada bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan lain-lain adalah akibat atau efek dari keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam yang notabene adalah karunia Allah SWT. Tidak terjangkaunya kebutuhan dasar rakyat pun adalah bentuk kerusakan atau kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Padahal penguasa seyogianya mengayomi rakyatnya sebagai bentuk tanggung jawab dan implementasi dari Undang-Undang yang termaktub dalam Pasal 33.
Berbeda dengan sistem Islam, dimana penguasa atau imam adalah raain (pengurus rakyat), sebagaimana hadist yang diriwatkan oleh Bukhari. “Imam (Khalifah) adalah raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Pengurusan rakyat dalam sistem Islam dilandasi oleh ketakwaan kepada Allah SWT. Rasa takut akan azab Allah dikarenakan kelalaian mengurusi rakyat mengalahkan godaan duniawi yang membutakan mata dan hati. Kisah yang masyhur dari Khalifah Umar bin Khattab patut jadi renungan, terutama oleh penguasa hari ini. Pada suatu malam Umar berjalan mengelilingi kota untuk memastikan rakyatnya aman. Beliau sangat kaget ketika mendengar seorang anak menangis karena kelaparan dan ibunya memasak batu untuk menghibur anaknya. Akhirnya Beliau sendiri yang memanggul sekarung makanan kepada ibu dan anak tersebut.
Di lain waktu dikisahkan pula tentang takutnya seorang Khalifah Umar jika ada seekor keledai yang terperosok ke dalam lubang karena jalanan yang rusak. Subhanallah , sungguh sikap seorang penguasa yang patut diteladani. Bagaimana dengan penguasa dalam sistem rusak hari ini? Sungguh sangat jauh berbeda. Hanya dengan menerapkan Islam Kaffah dalam institusi negara, pengurusan dan kesejahteraan rakyat dapat terwujud, biiznillah.
Wallahualam bishshowab.
[hw/LM]