DERADIKALISASI : Upaya Membungkus Gaung Islam
Oleh : Sri Kayati
LensaMediaNews – Paska pengumuman susunan Menteri Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo, publik ramai merespon adanya isu deradikalisasi. Pasalnya, dari beberapa Menteri yang baru dilantik, melontarkan statement yang serupa, yaitu fokus pada penanggulangan dan pemberantasan radikalisme.
Di samping itu penunjukan para menteri pun terlihat kurang pas dengan tugas atau posisi yang menjadi amanahnya. Seperti ditunjuknya Jendral Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negri, Tjahyo Kumolo Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.
Fachrul Razi usai pelantikan kabinet Indonesia Maju mengatakan bahwa ia sedang menyusun upaya-upaya menangkal radikalisme di Indonesia. Ia mengakui Presiden memilihnya karena dianggap mempunyai terobosan menghadapi radikalisme. Selain Fachrul Razi, masih ada nama menteri lain yang dijadikan garda depan untuk menumpas radikalisme.
Disamping itu munculnya isu perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan lingkungan lembaga pemerintahan yang terpapar paham radikal. Munculnya isu baru bahwa adanya paham radikal di KPK, menjadi pertanyaan besar yang tak terjawab. Isu tersebut sampai memunculkan istilah “Taliban” di KPK. Sebenarnya istilah ini ditujukan pada wadah pegawai KPK yang bersikap kritis terhadap proses pemilihan pimpinan KPK dan menolak revisi UU KPK.
Tudingan atau label radikal nampak ditujukan kepada pihak-pihak yang mempunyai sikap kritis terhadap penguasa. Ini yang menjadi aneh. Karena semakin menunjukkan fakta penguasa saat ini adalah penguasa yang anti kritik. Apalagi kritik yang disampaikan dianggap sebagai suatu yang akan merugikan atau mengganggu kepentingannya. Ini menunjukkan adanya upaya deradikalisasi terhadap masyarakat. Hak-hak rakyat untuk bersuara dan menyampaikan aspirasi harus dibungkam dengan jeratan kata “radikal”. Bahkan upaya deradikalisasi bukan hanya membungkam sikap kritis tapi juga menyerang ajaran Islam (tirto, 25/10/19).
Seperti dilansir pada laman Jawa Pos(25/10), Presiden Joko Widodo juga melantik 12 Wakil Menteri (Wamen) di kompleks Istana Negara, Jakarta. Salah satunya yang dilantik adalah Zainut Tauhid Sa’adi sebagai wakil menteri Agama (Wamenag) mendampingi Menag Fachrul Razi. “Salah satu amanat yang disampaikan Pak Presiden itu terkait dengan penanganan masalah radikalisme. Dan ini menjadi perhatian khusus Kemenag. Karena sudah masuk ke semua lini. Mulai dari pendidikan hingga ke militer. Oleh karena itu, permasalahan radikalisme ini harus bisa diurai dengan baik,” Jelas Zainut.
Sementara itu definisi paham radikal sendiri juga tidak jelas. Masyarakat ditakut-takui dengan momok atau hantu radikal. Akan tetapi masyarakat sudah cerdas dan bisa membaca arah pemerintah, kepada siapa labeling radikal tersebut ditujukan. Peristiwa demi peristiwa menjadi pembelajaran yang berharga. Mulai dari kriminalisasi ulama, ormas, ajaran Islam juga kriminalisasi bendera Tauhid. Semuanya dikaitkan dengan istilah radikal.
Kita semua semakin tahu siapa sebenarnya yang radikal, mereka yang berbuat kebaikan dan berusaha menegakkan kebenaran ataukah mereka yang berbuat kerusakan? bagi masyarakat yang paham agama paham syariat Islam, menyuarakan kebenaran adalah sebuah kewajiban.
Allah berfirman :
“Hendaklah ada diantara kalian segolongan umat, yang menyeru kepada kebajikan (Islam) dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imron :104)
Upaya deradikalisasi yang menghalang-halangi upaya menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi, itu tidak terlepas dari arahan para penjajah. Program sekulerisasi terhadap ajaran Islam semakin nampak jelas. Deradikalisasi yang digencarkan saat ini merupakan proyek super kakap yang dilakukan penjajah melalui para agennya. Namun siapakah yang mampu menghadang tegaknya kebenaran dan keadilan apabila Allah telah menghendakinya.
Sudah waktunya kita semua kembali kepada aturan yang diberikan Allah SWT. Menjadikan syariat Allah sebagai tolok ukur dari seluruh aktivitas kita. Menerapkannya dalam masyarakat dan negara secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Allah berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki ? hukum siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al Ma’idah : 50).
Wallahu a’lam bishowab.
[LS/Ry]