Bir dan Wine Sudah Halal, Kata Siapa?

Oleh: Zhiya Kelana, S.Kom.
(Aktivis Muslimah Aceh)

 

Lensamedianews.com, Opini – Bir atau wine sedang naik daun belakangan ini karena dianggap sudah ada izin bahkan halal untuk dikonsumsi. Dua minuman yang menurut mayoritas kaum muslim tidak boleh dikonsumsi karena jelas keharamannya. Namun hal ini tak membuat para pejuangnya menyerah dan membuat bir ‘halal’. Konon hal ini karena banyaknya turis asing yang biasa mengonsumsinya, meski dengan harga yang mahal. Sebagai seorang muslim, seharusnya kita bisa mempertahankan jati diri kita dengan makanan/ minuman yang halal dan menjadi contoh untuk yang lainnya.

 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti Tuyul, Tuak, Beer, dan Wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengonfirmasi temuan ini pada Selasa (1/10). Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare. (WartaBanjar.com, 01-10-2024).

 

Ramai perbincangan soal sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal. Mirisnya hal tersebut dianggap aman karena zatnya halal. Padahal apapun itu, bentuk nama dan zatnya tidak bisa dianggap halal karena batasan dan landasan hukum dalam Islam sudah jelas.

 

Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Nama tak jadi soal, asal zatnya halal. Padahal berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal-haramnya suatu benda, yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip. Selain itu, sertifikasi pun jadi ladang bisnis. Apalagi ada aturan batas waktu sertifikasi.

 

Dalil yang menunjukkan keharamannya (baik sedikit maupun banyak) adalah riwayat al-Bukhari dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah ditanya tentang al-bit‘ (yaitu nabidz madu) dan beliau menjawab: “Setiap minuman yang memabukkan adalah haram.” (HR. Al-Bukhari).

 

Dan firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah: 90 yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Maka jelaslah dalam hadis dan firman Allah atas keharamannya. Apa pun bentuk zatnya dan namanya tetap saja dihukumi haram.

 

Saat ini dalam sistem kapitalis, semua zat dianggap boleh tanpa dasar yang jelas, yang penting dianggap ‘bermanfaat’ meski itu akan merusak orang. Sedangkan Islam memiliki aturan tentang benda/ zat, ada yang halal dan ada yang haram. Negara Islam wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama dan jiwa rakyat.

 

Sertifikasi halal adalah salah satu layanan yang diberikan oleh negara. Negara akan memberikan dengan biaya murah bahkan gratis. Negara memastikan kehalalan dan thayyib-nya setiap benda/ makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia sehingga tidak akan ada polemik seperti yang terjadi hari ini. Hal itu karena negara sangat menjaga apa yang harus dikonsumsi oleh masyarakatnya, memberikan nutrisi terbaik untuk tubuh dan otaknya demi hidup sehat.

 

Negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Wallahu a’lam. [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis