Kabinet Gemoy, Efektifkah Kinerjanya?

Oleh Siska Juliana

 

 

LenSa MediaNews__ Negara Indonesia kini telah memasuki babak baru. Negara ini memiliki presiden dan wakil presiden yang baru. Masyarakat tentu memiliki harapan yang besar pada pemimpinnya.

 

Untuk membantunya dalam mengemban tugas, Presiden Prabowo Subianto memilih para menteri dan wakil menteri. Para menteri yang tergabung dalam Kabinet Merah Putih dilantik pada Senin (21/10).

 

Dalam kabinet ini terdapat 48 menteri dan 56 wakil menteri. Kabinet ini merupakan palinh gemuk dari masa Orde Baru hingga Reformasi. Kabinet gemuk ini membuat kinerja menjadi tidak efisien bahkan membuat birokrasi semakin rumit. Begitu juga dengan anggaran yang membengkak.

 

Menurut analisa Center of Economic and Law Studies (Celios), total estimasi kebutuhan gaji dan tunjangan bagi menteri dan wakil menteri Kabinet Merah Putih bisa mencapai Rp777 miliar per tahun.

 

Ini dihitung berdasarkan asumsi perhitungan gaji menteri sebesar Rp150 juta per bulan, gaji wamen Rp100 juta per bulan, anggaran operasional diasumsikan Rp500 juta per bulan per menteri dan wamen.

 

Dengan asumsi itu, jumlah gaji dan tunjangan seluruh menteri sebesar Rp88,2 miliar per tahun. Sedangkan gaji dan tunjangan wamen Rp70,8 miliar per tahun. Kemudian anggaran operasional sebanyak Rp648 miliar per tahun. Jadi, total estimasi untuk anggaran gaji menteri dan wamen di kabinet ini adalah Rp777 miliar per tahun. (cnnindonesia.com, 17-10-2024)

 

Jika dibandingkan dengan era Jokowi-Ma’ruf Amin, anggaran yang digunakan Rp387,6 miliar per tahun. Peningkatan anggaran sebesar Rp389,4 miliar per tahun. Dengan demikian, peningkatan anggaran untuk menteri dari era Jokowi ke Prabowo diperkirakan mencapai Rp1,95 triliun.

 

Bagi-Bagi Kekuasaan ala Demokrasi

Terlahirnya kabinet gemuk ini didasarkan pada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang.

 

Undang-undang tersebut memiliki ketentuan batas maksimal jumlah kementerian yang sebelumnya 34 pos dihapus dan diganti menjadi sesuai dengan kebutuhan presiden. Meskipun dibantah, UU ini disahkan demi memenuhi kebutuhan pemerintahan Prabowo-Gibran dengan koalisinya yang super besar.

 

Jika menelisik fakta yang ada, gemuknya kabinet saat ini bukan sekadar untuk menunjang kinerja pemerintah, akan tetapi lebih ke arah bagi-bagi kekuasaan. Bukan rahasia lagi jika dalam sistem politik demokrasi, bagi-bagi jatah kekuasaan dan pembangunan menjadi hal yang lumrah.

 

Mahalnya ongkos dalam meraih kursi kekuasaan menjadikan praktik politik transaksional. Visi dan misi partai dapat berubah sesuai dengan kepentingan yang ada.

 

Dalam sistem politik demokrasi, tegaknya kekuasaan ditopang oleh koalisi partai. Pemegang kekuasaan dan koalisi partai bagaikan simbiosis mutualisme. Pemegang kekuasaan membutuhkan koalisi untuk meraih kekuatan politik yang lebih luas dan dukungan yang lebih besar. Di sisi lain, dukungan partai terhadap penguasa menjadi sebuah investasi yang menguntungkan karena posisinya seperti utang yang harus dibayar.

 

Rakyat Menjadi Tumbal

Kabinet yang gemuk ini sebenarnya membuat kinerja pemerintah menjadi inefisien. Selain itu, membuat birokrasi menjadi semakin rumit.

 

Di sisi lain, bengkaknya dana yang diperlukan untuk gaji para menteri dan wamen, akan memberi pengaruh pada keadaan rakyat. Sudah menjadi rahasia umum jika anggaran pembiayaan negara dibebankan kepada rakyat melalui pungutan pajak, dihapusnya subsidi, dan naiknya berbagai harga kebutuhan.

 

Harapan Perubahan dengan Islam

Obat bagi segala kerusakan yang ditimbulkan kapitalisme adalah kembali pada aturan Sang Pencipta, yaitu Islam. Sistem Islam tegak dengan tiga pilar yaitu individu yang bertakwa, kontrol masyarakat, dan negara yang menerapkan aturan Islam secara kafah.

 

Tegaknya negara dan kepemimpinan dilandasi oleh akidah Islam. Negara memosisikan penguasa (khalifah) sebagai pelayan (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi setiap individu. Penguasa meyakini bahwa segala perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.

 

Baiat pengangkatan khalifah mencerminkan kesiapannya dalam menerapkan seluruh syariat Allah. Maka sudah terbukti selama lebih dari 13 abad, Islam menjadi peradaban yang gemilang.

 

Dalam sistem pemerintahan Islam, tidak ada kementerian. Khalifah boleh mengangkat para pembantunya sesuai kebutuhan. Misalnya dalam fungsi kekuasaan (wali atau amil), fungsi keamanan (amirul jihad), fungsi peradilan (hakim atau kadi), fungsi administrasi (duta, pengurus Baitulmal, kepala departemen, dan sebagainya).

 

Semua benar-benar diangkat sesuai kebutuhan, sehingga amanah kepemimpinan berjalan efektif dan efisien. Sistem pengangkatan khalifah dengan tugasnya memiliki tujuan akhirat. Alhasil, tidak akan membuka celah konflik kepentingan di dalamnya.

 

Khalifah dan para pembantunya harus memenuhi syarat-syarat in’iqad (muslim yang bertakwa, baligh, berakal, adil, merdeka, dan punya kemampuan melaksanakan tugasnya sesuai syariat). Penyerahan amanah pada ahlinya, sehingga tidak akan ada bagi-bagi jabatan seperti sekarang.

 

Dalam sistem kekhalifahan ada yang dinamakan Majelis Umat. Tugasnya untuk mengawasi penguasa dalam menjalankan amanahnya. Selain itu, Mahkamah Madzalim yang menjadi pemutus sengketa antara umat dan penguasa. Kewenangannya juga mencakup pemecatan khalifah jika sudah melenceng dari hukum syarak.

 

Pemimpin yang adil juga menghantarkan pada kebaikan dan kemaslahatan bagi umat yang dipimpinnya. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa Allah dan Rasul memberikan balasan berupa keutamaan yang melebihi ibadah 60 tahun, serta satu hukum yang ditegakkannya akan dia jumpai lebih bersih daripada hujan 40 hari.

 

Begitu sempurnanya syariat Islam dalam mengatur kehidupan. Masihkan kita menutup mata dari solusi Islam yang menyelamatkan? Wallahu’alam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis