Kemiskinan: Keniscayaan dalam Naungan Kapitalisme
Oleh: Humairah Al-Khanza
LenSaMediaNews.com__Sangat mengejutkan, dikatakan lebih dari satu miliar orang hidup dalam kemiskinan akut di seluruh dunia berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB pada hari Kamis (17/10/2024). Setengah dari jumlah tersebut, anak-anak yang paling terkena dampaknya.
Makalah yang diterbitkan Prakarsa Kemiskinan dan Pembangunan Manusia Oxford (OPHI) menyoroti bahwa tingkat kemiskinan ini tiga kali lebih tinggi di negara-negara yang tengah berperang. Karena tahun 2023 menandai konflik terbanyak di seluruh dunia sejak Perang Dunia II.
UNDP dan OPHI telah menerbitkan Indeks Kemiskinan setiap tahun sejak 2010, dengan mengumpulkan data dari 112 negara dengan populasi gabungan 6,3 miliar orang. Data ini menggunakan indikator seperti kurangnya perumahan yang layak, sanitasi, listrik, bahan bakar memasak, nutrisi dan kebutuhan bersekolah (beritasatu.com, 17-10-2024).
Sejatinya memanglah hari ini kemiskinan terjadi di mana-mana. Bahkan, kesenjangaan antara miskin dan kaya pun semakin lebar. Namun dunia tak kunjung mampu mewujudkan kesejahteraan. Padahal sudah ada Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional 17 Oktober, yang diperingati sejak tahun 1992.
Betul, adanya upaya yang dilakukan dunia melalui organisasi internasional, namun lagi-lagi telah gagal mewujudkan kesejahteraan. Pasalnya sumber solusinya pada kapitalisme. Sistem ini hanya menguntungkan para kapital, rakyat sering diabaikan, bahkan harus berjuang sendirian. Kapitalisme sejatinya adalah sistem yang rusak dan mustahil mewujudkan kesejahteraan secara merata bagi rakyat.
Sistem inilah yang membuat negara tak hadir mengurus rakyatnya. Terlebih lagi ukuran kesejahteraan ditetapkan secara kolektif dengan pendapatan perkapita. Hal itu merupakan ukuran yang semu. Karena tak akan mungkin menggambarkan kesejahteraan yang nyata.
Kemudian masih ada juga anggapan yang salah tentang solusi masalah kemiskinan. Mulai dari mengganti pemimpin, pemberdayaan perempuan, hingga pemimpin perempuan baik dalam negara, ataupun jabatan kepala daerah, juga menteri. Ada juga anggapan jika belajar di luar negeri adalah salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan.
Pada sebuah studi yang terbit di International Journal of Educational Research Volume 128, 2024, menemukan bahwa lulusan yang kembali ke negaranya setelah belajar di luar negeri berdampak terhadap pengurangan kemiskinan. Dampak ini terutama dirasakan di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Padahal sejatinya penyebab mendasar dari kemiskinan adalah penerapan sistem kapitalisme, yang membuat oligarki makin kaya, namun rakyat makin menderita dan sengsara. Berbeda jika dengan penerapan Islam kaffah yang akan mampu mengentaskan kemiskinan. Karena Islam adalah sistem dari Allah, sang pencipta manusia yang mampu memberikan solusi atas persoalan manusia termasuk kemiskinan.
Penerapan Islam kaffah akan menjamin kesejahteraan rakyat per individu. Sebab Islam menetapkan pemimpin/kepala negara sebagai raa’in (pengurus) yang memenuhi kebutuhan rakyat dengan sistem Islam kaffah.
Islam adalah sistem sempurna dan menyeluruh yang menetapkan ukuran kesejahteraan individu per individu. Maka ukuran inilah yang lebih nyata melalui berbagai konsep dalam sistem ekonomi Islam, negara akan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Karena negaralah yang akan memenuhi kebutuhan rakyatnya, seperti memberikan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan menyediakan lapangan pekerjaan yang luas. Sehingga rakyat akan merasakan kesejahteraan dari negara. [LM/Ss]