Rakyat Puas dengan Kinerja Pemerintah, Benarkah?

Oleh: Yulweri Vovi Safitria

Freelance Writer

 

LENSA MEDIA NEWS–Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya mencapai 75 persen.

 

Menurut Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana, ini mencerminkan dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi serta kebijakan-kebijakan yang telah diimplementasikan selama ini (tempo.co, 4-10-2024).

 

Indikator Survei

 

Jika melihat hasil survei, tentu masyarakat dibuat takjub. Namun, apabila melihat fakta riil di lapangan, tentu tidak sedikit masyarakat yang meragukan hasil survei. Pasalnya, selama beberapa tahun terakhir, kehidupan rakyat kian sulit. Mungkin bagi kalangan menengah ke atas, ekonomi mereka terus melesat naik.

 

Namun, tidak demikian bagi masyarakat kelas bawah. Mereka sering kali menjerit karena beban hidup yang kian mengimpit. Bahkan, ketika persoalan demi persoalan tak kunjung menemukan jalan penyelesaian, tidak sedikit pula yang mengambil jalan pintas. Kalap, lalu nekat mengakhiri hidup dirinya dan anggota keluarga karena beban hidup yang terus-menerus mendera.

 

Sementara itu, sejumlah harga kebutuhan pokok, pembatasan subsidi BBM, serta naiknya PPN pun terjadi di tengah kasus korupsi yang kian menggurita. Begitu pula dengan angka kriminal, pelecehan seksual, hingga pembunuhan menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Pertanyaannya, masyarakat mana yang merasa puas dengan kinerja pemerintah?

 

Para pemangku kebijakan seyogianya tidak menutup mata terhadap hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak hanya untuk menutupi rusaknya kinerja pemerintah. Tidak perlu pula pencitraan untuk memanipulasi fakta yang ada di depan mata, apalagi membangun opini seolah-olah kinerja pemerintah memuaskan. Sungguh, suatu keburukan tidak akan pernah bisa ditutupi dengan topeng kebaikan karena fakta yang terlihat tidak bisa terbantahkan.

 

Racun Mematikan

 

Masyarakat tentu tidak akan pernah lupa pernyataan Prabowo Subianto pada 2018 lalu terkait hasil pemilu. Ia mengungkapkan bahwa survei itu tergantung siapa yang bayar (detiknews.com, 4-5-2018). Meskipun pernyataan tersebut berkaitan dengan hasil pemilu, tidak menutup kemungkinan jika hal itu juga terjadi pada survei lainnya guna menutupi hal buruk dalam perpolitikan. Hal ini seolah membuka mata bahwa hasil survei bisa dimanipulasi oleh yang punya kepentingan.

 

Kondisi ini lumrah terjadi dalam sistem demokrasi. Segala capaian kinerja pemerintah bukan berdasarkan fakta yang sesungguhnya ada di masyarakat. Survei tersebut tidak ubahnya seperti angka-angka yang pada hakikatnya bisa dikendalikan oleh pemilik survei. Terlebih lagi, dalam sistem demokrasi yang lahir dari kapitalisme, tolok ukurnya adalah materi. Siapa saja yang bisa memberi materi, maka apa pun bisa diatur, bahkan dibeli.

 

Sistem demokrasi akan memberikan citra positif terhadap setiap kebijakan pemerintah. Semuanya dibuat terlihat indah. Berbagai pembangunan memang tampak menjamur, tetapi kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian kental dirasa. Mereka yang memiliki harta bisa menikmati segala kemewahan dunia, seperti pendidikan dan kesehatan yang berkelas, bahkan penghasilan yang tidak habis tujuh turunan.

 

Sebaliknya, masyarakat bawah makin miskin. Jangankan bisa menikmati fasilitas pendidikan dan kesehatan kelas atas, untuk makan saja harus pontang-panting, bahkan harus rela beralaskan tanah dan beratapkan langit. Jika pun ada kesempatan bekerja, mereka harus bersaing dengan tenaga kerja asing atau memilih menjadi buruh migran hingga terjebak sindikat penjualan orang. Melihat fakta ini, demokrasi tidak ubahnya seperti racun yang mematikan.

 

Standar Islam

 

Berbeda denga sistem Islam. Islam memiliki standar yang khas terhadap kinerja pemerintah karena dibangun berlandaskan hukum syara. Setiap kebijakan yang diambil penguasa Islam adalah untuk kesejahteraan rakyat sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, kelak pada hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan, kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (HR Muslim).

 

Keimanan dan ketakwaan yang ada dalam diri setiap individu pejabat, termasuk penguasa (khalifah) akan menjadi benteng dalam mengambil setiap kebijakan. Penguasa Islam tidak pula butuh pencitraan karena mereka paham betul bahwa segala perbuatannya disaksikan oleh Allah Swt.

 

Sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam akan melahirkan para pemimpin yang amanah dan penuh tanggung jawab. Mereka sadar bahwa amanah hanya diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, membangun kesadaran umat akan pentingnya hidup dalam naungan sistem Islam sesuai manhaj kenabian harus dilakukan. Meski tidak mudah, kita tetap harus terlibat di dalamnya. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis