Polemik Halal Haram di Negeri Muslim
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LENSA MEDIA NEWS–Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengonfirmasi bahwa dari hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare (wartabanjar.com, 1-10-2024).
Self declare adalah proses mendapatkan label halal namun tanpa audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa penetapan kehalalan dari Komisi Fatwa MUI. Sehingga MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk di atas.
Meski nama-nama produk tersebut tidak lagi muncul di aplikasi BPJPH, namun tak urung, temuan ini sangat memperihatinkan, karena bukti-bukti produk tersebut terpampang jelas di situs BPJPH dan diarsipkan oleh pelapor.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin mengatakan, produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapat ketetapan halal sesuai mekanisme yang berlaku. Sehingga masyarakat tidak perlu ragu.
Produk tersebut sudah bersertifikat halal karena telah melalui proses yang sesuai dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku.
Mamat menambahkan, penamaan produk halal sudah diatur oleh regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Juga, Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal (cnbcindonesia.com, 5-10-2024).
Sehingga pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal jika nama produk bertentangan dengan syariat islam, etika, atau kepatutan yang berlaku di masyarakat. Mamat tak menampik ada sejumlah produk yang mendapatkan sertifikasi halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal karena adanya perbedaan pendapat terkait penamaan produk, namun inilah cerminan fakta adanya perbedaan pendapat para ulama mengenai penamaan produk dalam proses sertifikasi halal.
Dimana perbedaan itu hanya sebatas soal diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama itu saja, tetapi tidak terkait dengan aspek kehalalan zat dan prosesnya yang memang telah dipastikan halal.
Polemik Sertifikasi Halal ala Kapitalisme
Memang memprihatinkan, di negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, halal haram masih saja rancu dan membingungkan. Seolah rakyat tak berhak menerima rasa aman yang benar-benar aman. Sementara dalam Islam sungguh jelas diperintahkan untuk makan dan minum yang halal saja.
Allah Swt . berfirman yang artinya, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS al-Baqarah : 168).
Semestinya, jika kita memahami ayat di atas, sederhana saja, pemerintah bertugas menjamin kehalalan sebuah produk, tanpa membiarkan ramai menjadi polemik, sebab, ancaman lain jika kaum muslim makan dan minum tak jelas kehalalannya adalah rusaknya generasi.
Meski hanya nama, sementara zatnya diklaim aman jelas tak cukup menjamin rasa aman. Jika ini disebut sebagai teknis marketing sebuah produk sangatlah berlebihan, karena menjual nama tapi tidak memberi rasa aman. Semakin aneh semakin viral, inilah wajah kapitalisme asli, hanya mengejar manfaat materi tak peduli menabrak keyakinan dan aturan agama.
Sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme memang tak soalkan nama bahkan tak jarang kehalalannya diragukan. Jika pun zatnya halal, tetap berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda, yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip.
Lebih dari itu, karena asas manfaat, sertifikasi pun jadi ladang bisnis. Apalagi ada aturan batas waktu sertifikasi. Pada awalnya ada program pemberian 1000 sertifikasi halal, namun kemudian berbayar dan ada subsidi bagi pelaku UMKM yang sesuai kriteria. Aroma bisnis jelas menguar.
Hanya Islam yang Mampu Wujudkan Rasa Aman Sejati
Islam memiliki aturan tentang benda atau zat, ada yang halal ada yang haram. Negara wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat. Dari sejak hulu hingga hilir, secara aktif negara mengawal prosesnya dan menindak tegas bagi siapa saja yang melanggar.
Sertifikasi halal adalah salah satu layanan yang diberikan oleh negara, dengan biaya murah bahkan gratis. Negara memastikan kehalalan dan kethayiban setiap benda atau makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia. Sebab, ketahanan pangan adalah salah satu faktor penunjang terwujudnya negara kuat dan generasi cemerlang.
Ketahanan pangan tak sekadar berbicara tentang kebutuhan pangan dan kemampuan negara mendorong rakyatnya untuk swasembada dan produktif terkait pangan, tapi juga menyangkut zat-zat yang menabrak syariat harus segera dihindarkan. Negara akan menggaji para ahli untuk berkontribusi pada pengembangan pangan, halal haramnya dan peluang untuk dibuat massal.
Negara juga akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi itu bertugas mengawasi produksi dan distribusinya untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase.
Inilah fungsi penguasa yang benar, yaitu meriayah (mengurusi) rakyat dengan sepenuh hati, sebab tampuk pimpinan bukan untuk menumpuk kekayaan, jajahan atau dominasi lainnya, tapi menjadikan negaranya semakin membaik dan rakyatnya sejahtera. Wallahualam bissawwab. [LM/ry].