Human Trafficking Kian Merebak, Buah Kapitalisme yang Rusak
Oleh : Ifa Mufida
(Praktisi kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial)
LensaMediaNews- Beberapa waktu lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melaporkan kasus perdagangan manusia kepada Presiden Joko Widodo yang dialami oleh beberapa perempuan WNI di China (detiknews.com, 19/07).
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) juga mengungkapkan, bahwa sejak bulan April 2019 sudah ada 13 perempuan asal Kalimantan Barat (Kalbar) dan 16 dari Jawa Barat (Jabar) yang menjadi korban perdagangan manusia (regional.kompas.com, 27/06). Dengan modus dinikahi dan akan diberikan harta, korban terjebak dalam kasus human trafficking.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun membenarkan ada perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang diduga menjadi korban perdagangan manusia di China. Namun pemulangan perempuan yang sudah menjadi korban pengantin pesanan itu pun masih terkendala karena adanya perbedaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Tingkok (kompas.com, 19/07).
Selain kasus yang terjadi di China, sejumlah anak di NTT yang dinyatakan hilang, diduga karena direkrut secara ilegal untuk kemudian dipekerjakan di lokasi prostitusi di luar negeri yg melibatkan warga lokal tempat korban berasal (voa-islam.com).
Human Trafficking atau bisa dikenal dengan kasus perdagangan manusia nampaknya terus saja merebak dan tak kunjung usai. Menurut fakta di lapang, faktor utama terjadinya human trafficking adalah akibat kemiskinan. Mereka awalnya diiming-iming pekerjaan bergaji besar, namun akhirnya mereka justru terjebak dalam perdagangan orang.
Lebih miris lagi, bahwa korban adalah anak-anak di bawah umur dan tanpa keahlian. Tawaran tersebut ternyata juga sangat mudah disetujui oleh orang tua. Lagi-lagi karena keadaan perekonomian keluarga yang sulit.
Hampir seluruh kasus yang ditemukan dalam perdagangan orang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. International Organization for Migration (IOM) mencatat perempuan yang diperdagangkan di ASEAN mencapai 250.000 orang tiap tahunnya. Sedangkan, khusus Indonesia korban perdagangan orang mencapai 74.616 dan ironisnya korbannya mayoritas adalah perempuan (antislavery.org).
Pertanyaannya kenapa kebanyakan adalah perempuan? Sistem saat ini, yakni kapitalisme memandang perempuan seperti komoditas yang bernilai tinggi yang bisa dieksploitasi baik secara terpaksa maupun sukarela. Bukan saja dengan illegal human trafficking seperti kasus yang telah disebutkan sebelumnya, namun juga secara legal seperti pengiriman TKW ke luar negeri. TKW perempuan ternyata menyumbang devisa sangat besar bagi perekonomian bangsa ini. Demikianlah, di negeri ini perempuan ternyata justru dijadikan budak ekonomi.
Sungguh Tragis! negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, masyarakat justru harus dihadapkan dengan realita bahwa negara ini menjual kekayaannya untuk asing dan bukan untuk mensejahterakan warganya. Akibatnya, perekonomian rakyat serba sulit dan terhimpit. Solusi pragmatis pun terpaksa menjadi pilihan. Atas nama kesulitan hidup, perempuan rela menjual tubuhnya.
Inilah potret perempuan dalam sistem kapitalisme. Sudah menjadi tanggung jawab negara untuk mengambil langkah strategis demi melindungi perempuan dari kejamnya human traficking. Namun negara tidak akan pernah bisa mewujudkannya ketika sistem yang menaungi adalah kapitelisme-sekuler. Sebab ketika kapitalis sebagai ideologi justru akan terus menjadikan perempuan sebagai obyek eksploitasi, baik secara fisik maupun finansial.
Berbeda dengan sistem Islam, negara wajib memenuhi hak dan kebutuhan hidup rakyatnya melalui sumber daya alam yang dikelolanya secara mandiri yang hasilnya untuk mensejahterakan rakyat. Selain itu, Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap anggota masyarakat, termasuk perempuan. Pemimpin negara Islam akan memerintahkan para laki-laki (ayah) untuk bekerja menafkahi keluarganya sebagaimana perintah Allah SWT dalam firman-Nya, ”kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (TQS al-Baqarah: 223).
Untuk itu, negara akan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi para laki-laki. Ini adalah tanggung jawab pemimpin negara sebagaimana hadits Rasulullah SAW, “seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)” (HR Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, tidak akan ada pikiran bagi perempuan untuk ‘menjual diri’, bekerja menjadi pekerja migran, atau terlibat human trafficking karena kebutuhan mereka sudah terpenuhi.
Maka sudah saatnyalah kita membuang jauh kapitalisme-sekuler dari kehidupan ini. Karena sistem ini terbukti rusak dan terus melahirkan kerusakan demi kerusakan. Sudah saatnya kita mengambil Islam secara totalitas yang akan memberikan kita solusi atas segala problematika yang terjadi. Dan hanya dengan penerapan Islam secara sempurna di sebuah negara maka human trafficking bisa diputus mata rantainya secara tuntas.
Wallahu a’lam bi showab
[LS/Ry]