Tabiat manusia adalah mencintai, menyayangi dan merindu terhadap apa saja yang ia sudah kenali. Sehingga bukan tanda tanya lagi jika seseorang membenci sesuatu yang bahkan ia tak pernah kenali apalagi temui sebelumnya. Maka untuk membuatnya berbalik arah dari yang tadinya benci menjadi cinta atau sayang bahkan sampai merindu adalah mengenalkannya dan mengubah persepsinya terhadap sesuatu yang sebelumnya tak ia kenali sama sekali. Maka niscaya ia akan berbalik 100% menjadi pecinta, penyayang dan perindu bukan pembenci lagi.

 

Sebagaimana yang telah terjadi pada Umar bin Khattab sebelum memeluk Islam dan menjadi pembela Islam. Awalnya Umar adalah sosok yang paling membenci Islam dan Rasulullah Saw sebagai pembawa risalah keislaman. Bahkan pernah berniat ingin membunuh Rasulullah. Namun seketika berbalik arah ketika ia dikenalkan Islam oleh adik dan suami adiknya setelah mendengar lantunan surah Thoha yang begitu syahdu dilantunkan. Sebab Islam bukan lagi hal yang tabu untuknya bahkan Islam telah dikenalnya, maka ia sontak berubah dan berbalik 360 derajat menjadi pembela agama Allah.

 

Maka benarlah yang dikatakan oleh Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nidzomul Islam bahwa untuk mengubah seseorang adalah terlebih dahulu dengan mengubah mafahim atau persepsi yang dimilikinya. Sebab seseorang akan bertindak sesuai dengan persepsi yang dimilikinya.

 

Maka bukan tanpa sebab pula mengapa hari ini umat muslim banyak yang berbalik membenci ajaran Islam salah satunya khilafah. Sebab umat tengah banyak disusupi oleh opini-opini dan stigma negatif oleh para pembenci Islam. Bahkan khilafah sebagai ajaran Islam dikerdilkan ditengah umat muslim sendiri. Sehingga banyak dari mereka yang anti dengan khilafah. Padahal jelas bahwasanya khilafah adalah sistem kepemimpinan umat Islam yang akan menjadi perisai/junnah bagi kaum muslimin bahkan bagi kafir yang siap untuk tunduk patuh dibawah naungan khilafah.

 

Bahkan matinya kaum muslim tanpa adanya pengangkatan seorang pemimpin dalam hal ini khalifah maka matinya adalah mati jahiliyah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw “Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat (kepada khalifah), maka dia mati (dalam keadaan berdosa) seperti mati jahiliyah.” (HR Muslim).

 

Tentunya dalam hal ini kewajiban mengangkat khalifah atau pemimpin tidaklah sama dengan mengangkat para pemimpin dalam kehidupan demokrasi sehingga mampu disamakan dan dianggap tergantikan. Melainkan pengangkatan khalifah haruslah berada dalam naungan khilafah sebab khalifah adalah seorang pemimpin dibawah kepemimpinan khilafah.

 

Keberadaan khilafah adalah mahkota kewajiban bagi kaum muslimin. Sebab penerapan hukum-hukum islam hanya mampu dilaksanakan sepenuhnya hanya tatkala Islam memimpin dibawah kepemimpinan khilafah.

 

Di kalangan ulama pun dari semua mazhab dalam Islam tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah kewajiban mengangkat khalifah. Pasalnya, kewajiban ini telah ditetapkan berdasarkan Alquran, sunah, ijmak sahabat dan qaidah syar’iyyah. Hanya segelintir ulama yang menolak kewajiban ini, yang perkataan dan pendapatnya la yu’taddu bihi, tidak diperhitungkan. (Mawsû’ah al-Fiqhiyah, VI/217).

 

Olehnya itu penting bagi para pengemban dakwah disamping memahamkan umat, juga dituntut untuk melakukan perlawanan opini terhadap serangan-serangan para pembenci Islam. Saatnya kita kenalkan dan kembalikan ingatan umat akan pentingnya khilafah sebagai junnah kaum muslimin. Sebab tak kenal maka tak sayang dan tak sayang maka takkan ada rindu. [RA/WuD]

 

Oleh: Nurhalimah

Please follow and like us:

Tentang Penulis