Pembiayaan Pembangunan Tanpa Pajak, Islam Mampu Mewujudkan

Oleh: Isnani Az Zahidah

 

LenSa Media News–Sudah menjadi tabiat dari sistem kapitalis untuk pembiayaan pembangunan diambil dari pajak dan utang. Padahal bila dilihat dari sisi fakta, yang namanya pajak dan utang adalah sesuatu yang membebani, kemudian dijadikan sebagai sumber terbesar pembiayaan pembangunan sebuah bangsa,  bisa dibayangkan resiko dan bahayanya.

 

Adanya pajak dengan bermacam bentuknya sangat membebani rakyat. Semua komponen dari kepemilikan individu dan kepemilikan umum dikenai pajak. Barang kebutuhan pokok rakyat bahkan barang sepele seperti pasta gigi, sabun, beli ayam bakar, dan lainnya semua ada pajaknya. Belum kelar rasanya beban hidup, pemerintah malah membebani rakyat dengan berbagai macam pajak.

 

Apalagi utang negara, akan membawa dampak bagi negara yg berutang. Tekanan atau penguasaan negara pemberi utang terhadap penerima utang memberikan konsekuensi-konsekuensi kedaulatan berpolitik. Utang adalah alat penjajahan kapitalisme untuk menjerat suatu negara secara ekonomi. Abdurahman Al Maliki menyebut utang luar negeri adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara.

 

Jika jelas membawa dampak, apa yang bisa dibanggakan dari peningkatan jumlah penerimaan pajak negara? Presiden Joko Widodo menargetkan penerimaan pajak dalam Rancangan Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 diusulkan sebesar Rp 2.189,3 triliun. Ini adalah kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp 2.000 triliun. Bisa dibayangkan akan lebih menderita nasib rakyat dengan beban target pajak tersebut ( cnbcindonesia.com, 16-8-2024).

 

Sedangkan untuk utang negara kembali mengalami peningkatan per akhir Juli 2024 yaitu mencapai Rp 8.502,69 triliun. Berdasarkan dokumen APBN secara nominal, posisi utang negara bertambah Rp 58,82 triliun atau meningkat 0,68% dibandingkan posisi pada akhir Juni 2024 sebesar Rp 8.444,87 triliun.

 

Namun dengan bertambahnya utang negara dalam sebulan yaitu Juni ke Juli sebanyak Rp 58,82 triliun atau meningkt 0,68% oleh Jokowi dianggap masih rendah. “Rasio utang kita salah satu yang paling rendah di antara kelompok negara G20 dan ASEAN,” kata Jokowi dalam pidato penyampaian RUU APBN 2025 beserta nota keuangannya, di gedung DPR MPR (viva.co.id, 16-8-2024).

 

Ini benar-benar menunjukkan sifat asli negara-negara penganut sistem kapitalis bahwa dalam pembiayaan pembangunan dibiayai dengan utang

 

Paradigma pembiayaan pembangunan dalam sistem kapitalis ini sangat berbeda dengan Islam.  Dalam Islam negara mengurus rakyat karena dorongan keimanan dan kewajiban pelaksanaan hukum-hukum Allah sang Maha Pengatur. Negara sebagi raa’in ( pelayan urusan rakyat).

 

Negara islam memiliki beragam sumber pemasukan, diantaranya dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang menjadi kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai individu atau  swasta, melainkan negara dan keuntungannya diberikan kepada rakyat, misalnya dengan pembangunan gedung-gedung sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi lengkap dengan sarana dan prasarana, gaji pengajar dan staf yang layak, bahkan biaya pendidikan gratis bagi rakyat.

 

Selain itu bisa diberikan untuk pembiayaan kesehatan yang layak dan terjangkau. Pembiayaan pengembangan riset-riset inovasi untuk kemaslahatan rakyat, dan lain sebagainya. Secara alamiah, penerimaan dari SDA akan lebih besar daripada penerimaan pajak.

 

Dalam Islam kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, dan zakat. Khusus zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak bumi, gas, ekosistem hutan, dan sejenisnya. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, faiusyur dan lainnya.

 

Akan halnya jika kas Baitulmal kurang atau bahkan kosong, saat itulah kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim baik dalam bentuk pajak ataupun pinjaman. Jadi, pemberlakuan pajak dalam Islam bersifat temporal, bukan pemasukan paten sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Dan hanya diberlakukan kepada laki-laki yang hartanya berlebih, tidak diberlakukan untuk setiap individu.

 

Utang dalam pandangan Islam dibolehkan asal tidak mempengaruhi kemandirian politik negara, tidak boleh bersyarat yang bertentangan dengan syariat. Sungguh sistem Islam lebih menjamin kesejahteraan bagi rakyat, tanpa memberinya beban. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis