Proyek Subway di Bali, Salah Prediksi Atasi Kemacetan

Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd

 

LenSa Media News–Pembangunan di Bali sungguh besar-besaran. Bahkan sudah over capacity, baik over dari penduduknya, bangunannya, sampahnya, juga transportasinya. Namun, kelebihan kapasitas ini bukan tanpa sebab, karena Bali memang dijadikan sebagai destinasi wisata juga tempat investasi, utamanya Bali Selatan yang sudah terkenal macet.

 

Oleh karena itu, sebenarnya sudah banyak ahli yang menyayangkan kondisi Bali hari ini. Buktinya adalah mereka berusaha untuk mencarikan solusi terbaik dalam mengatasi masalah Bali. Yang sudah diketahui, Bali punya jalan tol di atas laut untuk mempercepat jalur wisatawan yang mau ke bandara. Beragam jalan raya sudah diperlebar, ada pula jalan layang, dan terakhir akan dibuatkan subway atau kereta bawah tanah.

 

Pembangunan kereta bawah tanah ini pasti memerlukan pengkajian yang lebih mendalam, sebab Bali yang dengan over capacitynya akan membangun proyek besar di tempat yang sudah padat penduduk. Tanah Bali juga dikenal menjaga kelestarian budaya. Alhasil pembangunan LRT/Subway ini harus mengantongi izin dari banyak pihak.

 

Adapun faktor yang memengaruhi pastilah banyak merugikan masyarakat, seperti turunnya kualitas air bawah tanah, polusi udara, juga ketahanan tanah Bali yang diapit dengan lautan. Digoyang sedikit dengan gempa, Bali sudah tak berdaya, apalagi ada info megatrust. Bali yang sekecil itu harusnya tidak boleh lagi adanya proyek besar.

 

Namun apalah daya, Bali termasuk objek para kapitalis yang rakus. Proyek subway ini dianggap sebagai solusi paling baik untuk menangani kemacetan di Bali karena dinilai tidak melanggar hukum adat Bali yang tidak boleh melebihi ketinggian pura agung.

 

Ditambah lagi kalau pembangunan subway ini tidak dibiayai oleh pemerintah tetapi justru mengundang para investor global untuk menjadi rekanan dalam pembangunan subway. Ketika pembangunan ini diambil alih oleh investor, otomatis kepemilikan dan pengelolaannya nanti akan masuk ke kantong-kantong mereka. Bukankah ini artinya menambah utang pemerintah? Meski bukan dalam uang, tapi dalam ketergantungan artinya pemerintah akan berpangku tangan dan tidak memiliki kuasa dalam hal pengelolaan kereta bawah tanah di Bali.

 

Buktinya adalah adanya penyerahan surat penunjukan mitra strategis pengembangan LRT Bali dan pemimpin konsorsium investor yang disaksikan juga oleh Pj. Gubernur Bali, Mahendra Jaya. Pada pertemuan yang berlangsung di Hotel Andaz Sanur Denpasar pada 24 Juli 2024 lalu, Mahendra juga mengingatkan agar investor mengutamakan masyarakat lokal karena menurut Mahendra pengembangan koridor transportasi massal berbasis kereta di Bali adalah kerja besar yang membutuhkan dukungan dan kerjasama dari berbagai pemangku kepentingan.

 

Mahendra juga menyebut bahwa untuk mewujudkan kerja besar ini pasti memiliki keterbatasan fiskal apalagi di daerah maupun pusat belum ada model pembiayaan infrastruktur tanpa menggunakan anggaran APBN dan APBD.

 

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas, Suharso Monoafa, menegaskan kalau proyek besar ini harus jadi karena menjadi pertaruhan kementeriannya yang mendorong penerapan model pembiayaan pembangunan tak biasa ini.

 

Bahkan konsep transformasi ekonomi ini langsung diluncurkan oleh Presiden RI Joko Widodo. Dikatakan bahwa konsep ini juga iimplementasikan dalam peta jalan ekonomi kerthi Bali menuju Bali era baru.

 

Jika dilihat lebih dalam lagi, pemerintah nampak ngotot mengizinkan proyek-proyek besar meskipun para investor yang mengerjakan. Padahal masih banyak cara lain daripada meneruskan pembangunan LRT itu. Pemda harus mengkaji ulang dan mencari cara untuk menuntaskan bagaimana supaya Bali tidak mengalami over capacity tanpa menambah adanya pembangunan apalagi proyek yang dibangun atas nama investasi.

 

Wajar jika kepentingan rakyat luput dari hitungan, karena setiap proyek pembangunan menjadi ajang bancakan para penguasa dan pengusaha. Semua ini sejatinya cukup membuktikan betapa rusaknya paradigma kepemimpinan dan pembangunan saat ini. Penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal yang diterapkan memang benar-benar telah membawa kemudharatan bagi rakyat.

 

Kepemimpinan dalam sistem ini bukan didedikasikan untuk melayani dan menjaga kepentingan dunia dan akhirat umat namun pembangunan yang dilakukan justru ditujukan untuk melayani kepentingan segelintir pemilik modal yang mensponsori petualangan politik para pemburu kekuasaan.

 

Syariat Islam menetapkan tidak boleh adanya celah bagi siapapun terutama para pemimpin untuk menimbulkan kerusakan apalagi membuka pintu kezaliman dan memberi jalan penjajahan. Oleh karenanya pembangunan dengan skema utang atau investasi luar negeri dan sejenisnya betul-betul akan ditutup rapat oleh Islam.

 

Jika yang menjadi target pembangunan tersebut merupakan sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka diserahkan kepada negara bukan kepada swasta sebagai pemain utama. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis