Naluri Keibuan Mati, Apa Penyebabnya?
Oleh: Nurhayati, S.S.T.
LenSaMediaNews.com__Ibu adalah satu orang yang memiliki kasih sayang tulus. Menjadi garda terdepan untuk melindungi anak-anaknya. Namun kondisi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Sumenep. Seorang Ibu berinisial E tega mengantarkan putri kandungnya (T) kepada salah seorang kepala sekolah di Sumenep berinisial J (41 Tahun) untuk dicabuli. Pasalnya korban dicabuli sebanyak lima kali. Pencabulan ini berdalih untuk penyucian diri sedangkan hasil interogasi oleh kepolisian setempat dilakukan untuk pemenuhan biologisnya. Atas kasus ini J dijerat pasal 81 ayat (3) (2) (1), 82 ayat (2) (1) UU RI No. 17 Tahun 2016 perubahan atas UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak (KumparanNews, 1-9-2024).
Ibu yang seharusnya menjadi pendidik utama tak disangka justru melakukan kekejian luar biasa. Mirisnya sang Ibu kandung dengan rela menyerahkan anaknya untuk dicabuli. Ini menunjukkan matinya naluri keibuan nyata adanya, dan menambah panjang deretan potret buram rusaknya pribadi ibu dan rusaknya masyarakat.
Persoalan Sistemik
Jika kita ingin menyoal, maka banyak hal yang harus diubah bahkan kita harus memutus mata rantai kekerasan pada anak. Sebenarnya fenomena ini menunjukkan adanya persoalan sistemis dan bukti kegagalan sistem yang diterapkan. Dimulai dari ketidakstabilan emosional dalam keluarga, hingga gagalnya sistem pendidikan, juga sistem sanksi.
Dalam sistem sekularisme dan kapitalisme hari ini tingginya angka kemiskinan menyebabkan sulitnya memenuhi kebutuhan keluarga. Akibatnya pembagian peran antara ibu dan ayah tidak seimbang. Tekanan kehidupan menjadikan kondisi emosional orangtua cenderung tidak stabil. Sehingga pelampiasan emosi tak jarang kepada pasangan, bahkan kepada anak. Seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga yang memang marak belakangan ini.
Sistem pendidikan sekuler sebagaimana bentukan pendidikan hari ini, berorientasi pada nilai di atas kertas, bukan bertumpu pada pembentukan karakter. Pendidikan yang tinggi bahkan tidak menjamin baiknya kepribadian seseorang. Agama dijauhkan dari sistem pendidikan, akibatnya nilai dan norma diabaikan dalam berperilaku atas nama kebebasan yang dijamin oleh HAM. Agama dipandang sebagai hal prinsip yang hanya mengatur persoalan ibadah, bukan pada kehidupan secara luas.
Sistem sanksi yang tidak tegas dan tidak menimbulkan efek jera. Seperti kita saksikan, kejahatan yang berat justru mendapatkan hukuman yang tidak setimpal. Prinsip keadilan dalam hukum sistem demokrasi hari ini tidak jelas. Bahkan ada istilah bahwa hukum di negeri ini bisa dibeli selama kita memiliki materi dan kuasa. Maka sulit jika kita mengharapkan hukuman seadil-adilnya jika kita masih dalam sistem demokrasi.
Solusi Islam
Islam menetapkan peran dan fungsi ibu sebagai madrasatul ‘ula, yaitu sebagai pendidik yang pertama dan utama. Islam menyediakan bahkan memfasilitasi setiap ayah juga suami untuk memiliki sumber percarian nafkah yang jelas. Sebab beban penafkahan ada di pihak suami. Islam juga menjamin adanya supporting system di tempat kerja, memastikan setiap pekerja mendapatkan perlindungan, serts mendapatkan gaji yang layak.
Ibu menjalani peran penuh sebagai madrasatul ‘ula, bersama suami memberikan pendidikan di rumah kepada buah hatinya. Dalam kajian parenting, Ustaz Ajo Bendri Jaisyurahman mengatakan bahwa pengasuhan dan pendidikan dalam keluarga adalah harus dijalankan berdua. Ibu mengajarkan kasih sayang. Sedangkan ayah mengajarkan keberanian, tanggung jawab, dan kepemimpinan.
Kesempurnaan sistem Islam juga tampak dari sistem pendidikan yang membentuk kepribadian Islam, sistem sanksi, dan juga sistem lain yang mampu menjaga setiap individu dalam kebaikan, ketaatan dan keberkahan Allah. Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir yakni pencegahan terhadap tindak kejahatan, dan juga sebagai jawabir yaitu langkah kuratif untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kriminal. Hukum dalam Islam tidak pandang bulu dan tegas kepada siapapun dan apapun bentuk kejahatannya.
Sebagaimana dulu pada masa Rasulullah saw., Beliau bersabda bahwa apabila anaknya, Fatimah yang mencuri maka Beliaulah yang akan memotong tangan putrinya.
Islam juga mewajibkan negara agar mampu menjaga fitrah ibu, dan anak juga manusia semuanya. Islam memuliakan perempuan dengan perintah menutup aurat (QS. Al Ahzab: 59, QS. An-Nur: 31, dan QS. Al Ahzab: 33). Juga tanggung jawab penafkahan dibebankan kepada laki-laki. Allah swt. berfirman, “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (TQS. An-Nisa: 34)
Wallahu a’lam bishowab. [LM/Ss]