Kebutuhan Air: Negara Abai karena Kapitalisme

Oleh: Yuli Yana Nurhasanah

 

LenSaMediaNews.com__Saat ini, banyak rakyat yang kekurangan air bersih lantaran kekeringan atau karena kualitas air kurang. Kekeringan memaksa kebanyakan rakyat mengonsumsi air galon. Hal ini berdampak pada penambahan pengeluaran dan menjadikan kelompok menengah menjadi miskin.

 

Sejak masa krisis akibat pandemi Covid-19 di Indonesia, penduduk yang termasuk kelas menengah turun kasta. Berdasarkan catatan BPS (Badan Pusat Statistik), di tahun 2019 di Indonesia jumlah kelas menengah tercatat 57,33 jiwa atau setara 21,44% dari total penduduk. Kemudian, di tahun 2024, jumlah kelas menengah 47,85 juta orang atau setara 17,13%.

 

Ini berarti kelas menengah yang turun kasta sebanyak 9,48 juta orang. Penduduk kelas menengah di Indonesia selain turun kelas juga rentan miskin selama 10 tahun terakhir. Dampak dari krisis air membuat masyarakat mengonsumsi air galon dan jadi kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Inilah salah satu faktor kelas menengah jatuh miskin (cnbcindonesia.com, 31-08-2024).

 

Semua kehidupan membutuhkan air. Air adalah bagian mendasar dari semua aspek kehidupan. Indonesia terkenal dengan negara kaya air atau negara perairan. Tapi semua itu berbanding terbalik dengan realita yang ada. Indonesia mengalami krisis air bersih bahkan mayoritas di daerah mulai kesulitan mendapat air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

 

Banyak faktor penyebab krisis air di Indonesia, yaitu pengambilan air tanah yang berlebihan, kerusakan hutan, kebijakan pemerintah tentang UU pengelolaan SDA, yang salah satunya perizinan tambang nikel dan batubara. Limbah kedua tambang itu dibuang tanpa diolah terlebih dahulu sehingga mencemari lingkungan masyarakat sekitar.

 

Kerusakan hutan juga menjadi salah satu faktor penyebab Indonesia krisis air. Sementara hutan rusak penyebabnya adalah penggundulan hutan, penebangan liar, dan pembakaran hutan. Yang seharusnya pohon-pohon menyimpan air tanah, jadi tidak bisa disimpan karena pohon ditebang secara liar. Semua itu berakibat ketika musim penghujan datang tanah tidak kuat menahan beban sehingga terjadi bencana tanah longsor dan banjir. Dan saat tiba musim kemarau daerah tersebut terdampak kekeringan.

 

Di tengah kesulitan krisis air bersih yang dihadapi rakyat, pemerintah seakan berlepas tangan dari kewajiban menyediakan air bersih untuk rakyat, dengan mengundang investor sebagai “jalan ninja” untuk menyelesaikan krisis air bersih. Praktik inilah yang disebut privatisasi atau swastanisasi air. Yang seharusnya barang publik, akhirnya air diposisikan sebagai barang ekonomi.

 

Air saat ini banyak dikemas oleh perusahaan dan dijual. Inilah bentuk kapitalisasi sumber daya air. Pandangan pemerintah tentang persoalan krisis air di Indonesia adalah paradigma pedagang atau kapitalisme. Pemerintah terbukti gagal mencukupi kebutuhan air bersih bagi rakyatnya. Tapi pemerintah menjadikan kegagalan itu, sebagai lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Padahal itu adalah pengabaian pemerintah dengan kondisi rakyat saat ini.

 

Paradigma kapitalisme ini mendasarkan diri pada sekularisme yang memandang segala sesuatu bukan dari perspektif agama, termasuk ketika paradigma kapitalisme memposisikan air sebagai barang ekonomi. Ini merupakan paradigma yang salah.

 

Dalam sistem Islam air ditetapkan sebagai kebutuhan dasar manusia sehingga wajib untuk memenuhinya. Bisa berakibat fatal bagi manusia jika penyediaannya tidak optimal. Secara individual manusia bisa memenuhi kebutuhannya atas air. Sumber air dalam kehidupan masyarakat digunakan bersama-sama, jadi keberadaan sumber air merupakan urusan bersifat komunal. Oleh karena itu, butuh peran negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat banyak akan air.

 

Dan negara tidak boleh lepas tangan terhadap pengurusan air dari pengambilannya, distribusinya, kebersihannya dan penjagaan keamanannya. Sumber air tidak diprivatisasi tidak dikuasai perusahaan swasta. Sumber air dikelola oleh negara sehingga rakyat bisa menikmati air secara gratis.

 

Pada masa Islam berjaya, khilafah mampu mencukupi kebutuhan air bersih untuk rakyat. Membangun banyak bendungan, berbagai infrastruktur untuk menyalurkan air, menjaga agar rakyat tidak krisis air bersih. Ada seorang khalifah yang populer dengan nama Adud ad-Daulah (324-372H/936-983M) nama asli beliau Fannakhusru bin Hasan yang digelari ‘Khalifah Pembangun Bendungan’, karena pada masanya, untuk menjamin ketersediaan air beliau banyak membangun bendungan.

 

Beliau adalah khalifah yang memosisikan dirinya sebagai pengurus dan penanggung jawab (raa’in) bukan sebagai pedagang sebagaimana dalam sistem saat ini. Beliau pemimpin yang mampu menyediakan air bagi rakyatnya.

 

Hanya dengan sistem kehidupan Islam secara kaffah, pengelolaan lingkungan dan sumber air akan memberikan kesejahteraan dan manfaat bagi rakyat tanpa menimbulkan dampak kerusakan. Dan jika aturan Islam dilaksanakan secara kaffah Insyaa Allah membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat, juga membawa kebaikan kepada alam. Wallahu a’lam bishawab. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis