Negara Membangun Tanpa Pajak, Mampukah?

Oleh: Ranita

 

LenSa Media News_Opini_Pertama dalam sejarah, Presiden Jokowi mengusulkan target penerimaan pajak dalam RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2025 dinaikkan menjadi Rp. 2.189,5 triliun. Sebelumnya, penerimaan pajak 2024 yang diraih adalah sebesar Rp. 1.988,9 triliun. Lebih rinci lagi dalam RAPBN 2025 ini, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) diperkirakan juga akan mengalami kenaikan masing-masing menjadi Rp945,1 triliun dan Rp1.209,3 triliun (CNBCindonesia.com, 16/8/2024).

 

Sebagian kalangan berpendapat jika target ini mampu diraih, maka pemerintah akan memiliki keleluasaan dalam menjalankan berbagai program tahun depan. Di satu sisi rakyat makin kecewa. Pasalnya, rakyat menganggap pemerintah lebih fokus menyedot pendapatan rakyat dengan berbagai jenis pajak dibanding mengejar para koruptor yang memanfaatkan kebocoran anggaran yang jelas-jelas merugikan negara.

 

Kekecewaan rakyat ini sangat beralasan. Keadaan ekonomi yang memburuk yang ditandai dengan tingginya angka PHK, menurunnya lapangan pekerjaan, dan naiknya pembiayaan seperti biaya pendidikan, listrik, air dan BBM sudah cukup mencekik rakyat. Jika pajak dinaikkan, maka kondisi rakyat tentu semakin memburuk. Di sisi lain, ketidakadilan hukum dipertontonkan. Para pencuri uang negara justru mendapat remisi saat perayaan kemerdekaan RI yang ke 79.

 

Kapitalisme Membiayai Negara Mutlak Dengan Pajak

Fenomena pajak tinggi tak bisa dilepaskan dari sistem Kapitalisme yang menguasai dunia saat ini. Dalam ekonomi kapitalisme yang menjamin kebebasan kepemilikan, sumber daya alam yang merupakan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh siapapun selama dia mampu membayarnya.

 

Kebebasan kepemilikan ini menyebabkan segelintir manusia diperbolehkan menguasai kepemilikan umum semisal tambang, dan sumber energi seperti minyak dan batu bara. Sumber air tak terbatas seperti mata air juga legal dimiliki swasta.

 

Hasilnya, negara tak punya kekayaan secara riil karena semuanya telah dimiliki swasta bahkan asing. Akhirnya, sektor-sektor yang hasilnya berlimpah tak bisa dimanfaatkan negara untuk kemakmuran rakyat. Alih-alih disejahterakan, rakyat justru diperas untuk menambal kebutuhan anggaran negara melalui berbagai macam jenis pajak. Tanpa pajak, negara yang berbasis ekonomi kapitalisme, tidak mampu menghidupi dirinya.

 

Sistem Ekonomi Islam Minim Pajak

Berkebalikan dengan Kapitalisme, dalam sistem ekonomi Islam tak ada kebebasan kepemilikan. Kepemilikan dalam Islam mutlak ditentukan oleh Asy-Syari’ (pembuat hukum), yakni Allah. Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga: kepemilikan individu, kepemilikan umat (umum) dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum dan negara, tak bisa beralih menjadi kepemilikan individu seberapapun dia mampu membayarnya. Negara juga tidak berhak mengambil kepemilikan individu tanpa sebab-sebab yang diperbolehkan oleh syara’.

 

Dalam negara yang berbasis Islam kaffah, anggaran negara dikelola oleh Baitul Mal. Baitul Mal secara khusus mengatur semua pemasukan dan pengeluaran harta. Sumber pemasukan tetap Baitul Mal sebagian diantaranya diperoleh dari fai‘, ghanimah, kharaj, jizyah, barang tambang, harta milik umum yang dikelola negara, serta harta orang yang tidak memiliki ahli waris.

 

Selain pos pemasukan tetap, ada juga pos pemasukan tidak tetap. Pajak (dharibah) masuk ke dalam pos ini. Sesuai dengan sifatnya yang tidak tetap, pajak hanya diambil jika pos pemasukan tetap tidak mampu menutupi sejumlah pos pengeluaran negara yang hukumnya wajib untuk dipenuhi, semisal pembayaran gaji pegawai negara, pengadaan fasilitas umum dan penyelenggaraan pendidikan, dan normalisasi pasca bencana.

Uniknya, dalam Islam pajak hanya dibebankan kepada laki-laki muslim yang memiliki kelebihan harta setelah terpenuhi kebutuhan primer dan tersiernya. Warga negara non-muslim ataupun muslim yang tidak memiliki kelebihan harta, bukan terkategori sebagai wajib pajak.

 

Tak seperti kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai tumpuan APBN dalam membangun negara, pajak dalam sistem Islam hanya dibebankan jika negara sedang keadaan defisit. Jika pembiayaan-pembiayaan wajib telah tercukupi, maka pemungutan pajak harus segera dihentikan. Dari sini saja terlihat jelas bahwa sistem Islam memposisikan rakyat sebagai obyek yang diurus dan dijaga, bukan obyek eksploitasi sebagaimana sistem kapitalisme sekuler saat ini. Allahu a’lam.

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis