Hilangnya Rasa Aman, Mpox Menyerang
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LenSa Media News–Apa yang terbayang di kepala ketika badan kesehatan dunia, WHO, mengumumkan darurat kasus Mpox ( cacar monyet) sebagai darurat kesehatan global? Seolah tak ada hentinya musibah menghampiri, hilanglah rasa aman, sebab negeri ini belum pulih seratus persen dari Covid-19, darurat anak harus cuci darah karena gagal ginjal, Stunting dan lainnya.
Meskipun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengumumkan sejauh ini hanya terdeteksi 88 kasus Mpox bisakah kita tetap tenang? Masih teringat saat pertama kali Indonesia “kemasukan” pasien Covid-19. Banyak menteri mengatakan hal yang konyol salah satunya, Menteri Luhut yang mengatakan orang Indonesia kebal Covid-19 karena tinggal di negara tropis.
Ternyata, korban berjatuhan sangatlah banyak, dari rakyat biasa hingga para nakes meregang nyawa. Harga masker dan hand sanitizer melambung tinggi, lagi-lagi para menteri kita beralih bisnis dan ikut berjualan, menangguh untung di tengah penderitaan rakyat. Di akhir, Presiden Joko Widodo membuat kebijakan hidup selaras dengan Covid-19 karena memang tak bisa diatasi.
Akankah Mpox juga demikian? Padahal, penularannya melalui kontak lansung dan risiko penularan tertinggi adalah dari hubungan seksual sesama jenis, terutama lelaki dengan lelaki (republika.co.id, 18-8-2024). Terlebih jika mengingat baru saja pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan undang-undang kesehatan Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan.
Yang menjadi was-was hati rakyat di beberapa pasalnya menyatakan, tak hanya memberikan konseling, edukasi tapi juga menyediakan alat kontrasepsi bagi remaja dan pelajar. Meski dibantah hanya untuk pelajar yang sudah menikah, namun jika mengingat batasan usia menikah adalah 19 tahun, jelas kemungkinannya tinggal pelajar dengan usia di bawahnya yang menjadi sasaran, apakah ini sinyal negara memfasilitasi perilaku seks bebas?
Bagaimana jika pengguna adalah mereka yang terkatagori pasangan berisiko, sering berganti pasangan atau malah dengan sejenis yang justru menimbulkan dampak yang lebih mengerikan?
Plh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI dr. Yudhi Pramono, MARS mengatakan, dari 88 kasus yang dikonfirmasi, sebanyak 54 kasus adalah varian Clade IIB, tren di 2022, memiliki fatalitas lebih rendah namun penularannya sebagian besar dari kontak seksual.
Virus berawal dari infeksi di Republik Demokratik Kongo, dalam dua tahun telah menyebar ke negara tetangga. Memaksa Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan sebagai “darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional,” atau diistilahkan PHEIC.
Zina Merebak Penyakit Bertandang
Dunia bukan hanya semakin tua, namun dengan penerapan sistem kapitalisme demokrasi, yang berasaskan sekulerisme semakin membuatnya renta. Berbagai dampak akibat masalah yang muncul secara multidimensi seolah tak bisa teratasi.
Indonesia terlihat hanya mengekor apa yang diserukan WHO sebagai sebuah kedaruratan global, tanpa pernah menggali akar persoalannya. Pergaulan bebas yang dibiarkan telah menghancurkan tatanan peradaban manusia. Normalisasi perzinahan di kalangan remaja jelas akan menjadi bom waktu bagi Indonesia bahkan dunia.
Padahal akibat dari maraknya perzinaan di kalangan remaja adalah naiknya angka kehamilan di luar nikah, aborsi dan penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS. Tak menutup kemungkinan Mpox pun akan bergentayangan di negeri ini mencari mangsa, apalagi jika melihat upaya pemerintah yang setengah hati.
Perzinaan juga menimbulkan rusaknya nasab dan hukum waris, mendorong aborsi dan pembuangan bayi oleh pelaku, menjadi sarana penyebaran berbagai penyakit kelamin, dan menghancurkan keluarga. Masihkah berharap pada sistem yang menjauhkan agama sebagai pedoman aturan hidup?
Islam Solusi Terbaik Selamatkan Generasi
Bagaimana bisa berharap 2045 Indonesia mencapai tujuan Indonesia emas jika generasi yang dihasilkan terancam berbagai penyakit menular berbahaya yang berasal dari perilaku liberal, bebas tanpa batas? Saatnya kembali kepada Islam, pasti semua penderitaan bahkan rasa aman yang hilang akan kembali.
Islam hanya menghalalkan pernikahan untuk hubungan pria dan wanita dalam menyalurkan Gharizah Nau’ ( kebutuhan biologis). Pernikahan mendatangkan pahala, menjaga kehidupan masyarakat sekaligus mencegah penularan penyakit sosial.
Rasulullah Saw., “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Maka, berharap pada kinerja lembaga global seperti PBB atau WHO dan lainnya, sejatinya hanya memperpanjang penderitaan, solusi mereka tak akan pernah hingga akar, mereka pun sejatinya perpanjangan tangan dari negara pengemban kebebasan sekaligus kapitalisme. Jelas mereka tak mau dikekang aturan agama, apalagi Islam, sebab itulah alasannya mereka memilih sekuler.
Islam memandang negara harus memberi edukasi terkait pernikahan, menutup aurat, berinteraksi syar’i, bermuamalah syar’i, sekaligus menegakkan sanksi dan hukum bagi pelaku zina, penyedia pornografi dan pornoaksi. Wallahualam bissawab. [LM/ry].