Demokrasi: Kawan Jadi Lawan, Saingan Jadi Teman

Oleh: Asha Tridayana, S.T.

 

LenSaMediaNews.com__Pilkada menjadi momen yang sudah tidak asing bagi masyarakat negara ini. Bahkan telah menjadi rahasia umum bahwa pilkada menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan saling berkoalisi ataupun menjadi oposisi. Terbukti adanya pertemuan di antara ketua umum partai politik yang saling menjajakan jagoannya. Mereka berupaya membangun koalisi untuk bisa menang. Disamping itu, terjadi dominasi elit partai politik yang menjadikan pasangan calon (paslon) terbatas pada lingkup mereka. Partisipasi publik tidak lagi dihiraukan karena pada dasarnya paslon yang dipilih tidak lain yang akan mendukung dan memudahkan elit partai politik mempertahankan kekuasaannya (tirto.id, 10-08-2024).

 

Sementara itu, pengamat politik Adi Prayitno menuturkan adanya hubungan panas dingin antara beberapa partai politik yang sebelumnya sempat berkoalisi. Kondisi tersebut menyiratkan bahwa politik bisa mengubah kawan menjadi lawan ataupun sebaliknya, hanya untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Politik juga mampu melakukan berbagai cara demi tercapainya tujuan yang tidak lain kekuasaan. Adi juga menambahkan idealisme politik hanya ada di ruang kelas dan keranjang sampah. Karena realitanya hanya elit partai yang memiliki wewenang menentukan pencalonan kompetisi dalam bingkai demokrasi elit (liputan6.com, 11-08-24).

 

Miris, pada akhirnya rakyat hanya menjadi komoditas pemilihan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kekuasaan. Politik semacam ini hanya akan tumbuh subur dalam sistem demokrasi kapitalis. Sistem yang berasaskan manfaat yakni menjadikan materi dan kekuasaan sebagai tujuan. Berbagai cara dapat ditempuh bahkan menghalalkan apapun demi mewujudkan tujuan tersebut. Termasuk mengorbankan kepentingan rakyat hingga idealisme pun dilanggar asalkan dapat meraih kemenangan.

 

Sehingga tidak mustahil, beberapa partai politik akan saling berkoalisi meskipun sebelumnya berbeda prinsip dan pandangan politik bahkan berbeda ideologi. Hal ini dilakukan tidak lain dengan pertimbangan peluang kemenangan. Sebagaimana dilakukan dalam pemilihan figur paslon yang dipilih. Mereka hanya melihat berdasarkan perhitungan kemenangan, bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Karena kemenangan menjadi prioritas dalam pemilihan, adanya politik uang telah menjadi keniscayaan demi menarik simpatisan agar mau memberikan suaranya.

 

Sungguh menyakitkan melihat kondisi negeri saat ini. Masyarakat menaruh harapan besar pada ajang pemilihan agar terjadi perubahan dan perbaikan nasib dengan bergantinya pemimpin. Namun, ujungnya kembali ke jurang yang sama hanya menjadi korban keserakahan elit politik dan para penguasa. Tertipu bermacam janji yang tidak akan pernah direalisasi. Sehingga keadaan dan nasib rakyat akan semakin terpuruk selama negara masih saja menerapkan sistem demokrasi kapitalis.

 

Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh rakyat menyadari bukan pergantian pemimpin yang dibutuhkan dan mampu menjadi solusi atas segala persoalan hidup yang dialami. Tidak cukup hanya dengan pemilihan apalagi paslon yang dipilih telah ditentukan oleh elit politik. Sering kali masyarakat dipaksa memilih sekalipun tidak mengetahui latar belakang dan kemampuan paslon. Lebih-lebih mantan narapidana pun boleh mendaftar menjadi paslon. Belum lagi telah terjadi banyak kasus selama pemilihan. Hal ini membuktikan pemilihan hanya ajang pesta elit politik yang memanfaatkan kesulitan hidup rakyat.

 

Kesadaran dan keinginan mengubah nasib menjadi lebih baik semestinya dapat mengarahkan pemikiran pada cara yang dapat dilakukan. Namun, besarnya pengaruh sistem demokrasi kapitalis ini telah mengaburkan masyarakat pada hakikat tujuan hidup yang sesungguhnya. Penyebabnya negara dengan mayoritas muslim hanya menjadikan Islam sebagai agama ritual. Padahal Islam memiliki seperangkat aturan dan mekanisme untuk menjalani kehidupan termasuk urusan politik pemerintahan.

 

Di samping itu, Islam menetapkan kekuasaan sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Kekuasaan menjadi sarana agar seluruh aturan Allah Swt dan Rasul-Nya dapat diterapkan di segala aspek kehidupan. Sehingga dapat dikatakan satu-satunya cara agar tercapai kebaikan hidup di dunia bahkan di akhirat dan terlepas dari berbagai persoalan, tidak lain menjadikan Islam sebagai aturan hidup dan mencampakkan sistem demokrasi kapitalis yang jelas merusak.

 

  1. Kemudian pemimpin atau penguasa menurut Islam juga harus memiliki kapabilitas dan integritas. Karena pemimpin bertanggungjawab penuh atas seluruh urusan rakyat dan menjamin terwujudnya kesejahteraan. Tidak pernah berjanji tetapi selalu menepati. Kesadaran akan amanah kepemimpinan menjadikannya senantiasa berusaha melaksanakan seluruh syariat Islam sehingga berbagai masalah kehidupan pun dapat tuntas teratasi. Rasulullah saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Wallahu’alam bishowab. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis